Monday, March 7, 2016

Drug Resistant Bacteria

Drug Resistant Bacteria
(you may die only from a sore throat)

Bulan April tahun 2006, seorang pelajar putri berusia 16 tahun mengeluh sakit tenggorokan setelah pulang berlibur bersama keluarganya. Sakitnya tidak dirasakan berat, ia bahkan masih bisa berpergian ke mall. Baru beberapa hari kemudian kondisinya mulai menurun, ada demam tinggi, lemas, ada keluhan “back pain”. Setelah beberapa kali ke dokter akhirnya si remaja putri didiagnosis “pneumonia” (radang paru) dan harus segera masuk RS. Setelah dirawat di RS selama 2 hari, diketahui kalau radang parunya disebabkan oleh MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus). Ini adalah golongan bakteri yang sudah ber-evolusi melalui seleksi alamiah, dan berakibat si bakteri memiliki resistensi terhadap berbagai antibiotik termasuk golongan penicillins (methicillin, dicloxacillin, nafcillin, etc) dan golongan cephalosporins. Otomatis hal ini mengakibatkan golongan bakteri MRSA ini lebih susah untuk diobati dengan standard antibiotik biasa.

Setelah mengetahui penyakitnya, dokterpun menenangkan orang tua sang pelajar putri. Mereka masih menaruh kepercayaan dengan ilmu kedokteran yang sudah maju, dan tentu antibiotik yang tepat bisa digunakan untuk melawan MRSA tersebut. Sayangnya kenyataan berbicara lain.  Hasil scan menunjukkan kondisi paru parunya terus memburuk, tidak ada perbaikan sehingga bahkan harus dimasukkan tube ke dalam tenggorokannya untuk membantunya bernafas. Dokter yang menangani menyerah, tidak bisa lagi menaikkan kadar oksigen dalam tubuhnya dan ia dirujuk ke RS yang lebih besar. Sementara itu, kondisi dan kesadarannya terus menurun sehingga berada dalam keadaan koma. Si pelajar putri yang sebelumnya sehat, “an honor student”, dan juga jago berenang ini tiba tiba harus bergantung pada alat alat bantu penunjang kehidupan yang dipasang di sekujur tubuhnya. Akhirnya 4 bulan setelah berjuang melawan penyakitnya di RS, Rebecca Lohsen, meninggal dunia. Ibunya yang juga seorang perawat, antara percaya dan tidak menyaksikan hidup putrinya direngut oleh bakteri yang selama ini dianggap sudah bisa ditaklukan oleh obat obatan modern.
Nearly 4 months after she mentioned that sore throat, she died”.
Kisah selengkapnya bisa dibaca disini:

http://www.idsociety.org/Templates/nonavigation.aspx?Pageid=12884901901&id=32212257007

Kasus lain dilaporkan pada tahun 2009 di journal Clinical Infectious Diseases. Sebuah RS di New York melaporkan kasus infeksi yang disebabkan oleh bakteri Klebsiella pneumonia. Sebenarnya ini bakteri ini umum jadi penyebab infeksi nosocomial di RS, sayangnya kali ini si bakteri memiliki resistensi terhadap semua antiobiotik yang biasanya digunakan terhadap bakteri tersebut. Dokter di RS tersebut menyebut bakteri ini sebagai “panresistant K. pneumonia”. Akhirnya dokter di RS tersebut mendeskripsikan penyebab kematian dari pria berusia 67 tahun yang dirawat di sana sebagai akibat dari panresistant klebsiella dan mereka mengakui mereka tidak punya pengobatan efektif yang bisa digunakan.
Berikut kutipan dari journalnya:
It is a rarity for a physician in the developed world to have a patient die of an overwhelming infection for which there are no therapeutic options. These cases were the first instance in our clinical experience in which we had no effective treatment to offer. Trends in urban hospitals are often the harbinger of the future. We share these cases to highlight some troubling issues that soon may be relevant to increasing numbers of physicians and patients across the United States.”

Begitupula di tahun 2011, seorang pasien dibawa ke RS rujukan di National Institutes of Health Clinical Center di Maryland. Ia diketahui terinfeksi bakteri Klebsiella yang memiliki resistensi terhadap beberapa antibiotik poten yang ada saat itu. Selama di RS ia harus masuk ruang isolasi dan penjenguknya harus mengenakan gaun khusus serta sarung tangan. Untunglah setelah satu bulan dirawat akhirnya ia bisa keluar dari RS dengan selamat. Sebulan berikutnya, ada pasien lain yang terkena bakteri Klebsiella yang sama dengan pasien pertama tadi, disusul pasien pasien baru di minggu minggu berikutnya. Saat itu total ada 18 pasien yang terinfeksi dan 6 diantaranya gagal diselamatkan dengan pengobatan (antibiotik) yang ada.

Kenapa ada bakteri yang bisa resisten terhadap antibiotik?
MRSA dan bakteri lainnya yang resisten terhadap antibiotik seperti klebsiella di atas sebenarnya adalah hasil dari pengobatan modern. Rebecca dan pasien pasien lain yang meninggal dunia gagal diselamatkan karena semua orang lain yang sakit sebelum mereka telah terlebih dahulu banyak diobati dengan menggunakan antibiotik. 

Antibiotik bekerja dengan membunuh bakteri penyebab infeksi. Komposisi kimia dari banyak antibiotik sebenarnya berasal, atau mirip dari senyawa yang dihasilkan oleh si bakteri sendiri untuk berkompetisi membunuh bakteri lain. Jadi secara natural, bakteri bakteri ini harus berusaha bertahan hidup dengan mengambangkan resistensi terhadap senyawa kimia tersebut.
Bakteri yang berhasil bertahan hidup bisa kembali menyerang orang lain, yang kemudian diberi lagi antibiotik dan seterusnya dan seterusya. Ini merupakan ‘booster” buat si bakteri. Mirip proses evolusi, segolongan bakteri yang selamat dari antibiotik ini akan terus berkembang menjadi lebih kuat dan memiliki resistensi terhadap bermacam antibiotik. Akhirnya, pada saat si bakteri menyerang Rebecca dan pasien2 lain di atas, bakteri tersebut sudah merupakan hasil produk adaptasi yang mempunyai “pharmaceutical tool kit” dan tidak bisa lagi dikendalikan dengan antibiotik yang umum kita kenal.


Resistensi obat juga bisa terjadi dengan cara mutasi dimana si bakteri mengambil kemampuan resistensi tersebut dari bakteri lain yang bisa bertahan hidup. Contohnya, kita semua memiliki bakteri di dalam usus yang tidak berbahaya (harmless bug) dan kebetulan memiliki gen resistensi terhadap obat. Bakteri pathogen yang masuk lalu bisa mengambil kemampuan resistensi dari bakteri usus tersebut dan akhirnya memiliki resistensi juga.

Tidak semua bakteri juga mengalami proses evolusi dan menjadi resisten terhadap antibiotik. Treponema pallidum, misalnya, bakteri penyebab syphilis ini masih bisa dikendalikan dengan penicillin meskipun di lain pihak sudah banyak bermunculan bakteri bakteri yang resisten terhadap penicillin. Penggunaan chloroquine di India masih efektif untuk malaria vivax meskipun sudah mulai terjadi resistensi di negara lain. Hal ini mungkin bisa jadi petunjuk yang baik untuk mempelajari bagaimana mencegah resistensi obat.

Bagaimana menghadapi resistensi obat tersebut?
Yang pasti sudah waktunya kita juga harus berpartisipasi ikut membatasi perkembangan kuman atau bakteri yang memiliki resistensi terhadap obat obatan. Salah satu strategi yang bisa dilakukan yaitu mengubah pola pikir terhadap infeksi. Seperti pepatah umum yang sudah lama kita kenal “mencegah lebih baik dari mengobati”. Kasus infeksi sedapat mungkin sejak awal dicegah (first care) dengan menjaga kebersihan atau dengan vaksin.

Strategi lain yang sangat penting dengan membatasi penggunaan obat (antibiotik) sebagai “driver” dari evolusi bakteri itu sendiri. Setiap kali bakteri berhadapan dengan antibiotik, secara natural terjadi seleksi alamiah yang mengasilkan bakteri hidup yang memiliki resistensi terhadap antibiotik tersebut. Itu sebabnya penggunaan antibiotik tidak bisa bebas sembarangan dan harus memakai resep dokter. “We need to hold back our drugs for only the important cases; only use drugs when there is clinical need”.
Seringkali dokter mengobati pasien dengan tujuan utama supaya pasien cepat sembuh secepatnya (as healthy as possible, as fast as possible). Mereka tidak perduli dengan konsekuensi adanya evolusi bakteri dari obat obatan yang diberikan, yang mungkin saja bisa mengakibatkan resistensi dan fatal di pasien pasien berikutnya. Saat ini resistensi obat semakin meluas, sudah waktunya kita juga harus berevolusi, mengubah pola pikir bahwa mengobati penyakit dengan menggunakan obat obatan seperti antibiotik yang ada sekarang pasti beres.

Antibiotik pertama kali ditemukan dan dipakai sejak tahun 1928, hampir 100 tahun yang lalu. Kita harus berupaya memikirkan dan menemukan strategi baru untuk menghadapi bakteri bakteri hasil evolusi.
“Drugs WERE magic bullets. They aren’t now”

====================================================================
Summary from the lectures: “Drug Resistance” Epidemics-The Dynamics of Infectious Diseases -The Pennsylvania State University.
Reports:
Azza Elemam, Joseph Rahimian, and William Mandell
Infection with Panresistant Klebsiella pneumoniae: A Report of 2 Cases and a Brief Review of the Literature. Clin Infect Dis. (2009) 49 (2): 271-274 

The story of Rebecca Lohsen:
http://www.idsociety.org/Templates/nonavigation.aspx?Pageid=12884901901&id=32212257007

Images:
* By NIAID – NIH  http://www.niaid.nih.gov/topics/antimicrobialResistance/Understanding/Pages/drugResistanceDefinition.aspx, Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=41858152
* http://whyfiles.org/shorties/090antibio_resist/

                  

2 comments:

  1. semakin banyak engetahuan tentang pengobatan maka semakin mengerikan yah Dokter, tapi kalau kurang pengetahuan maka kita gak mengetahui jenis-jenis penyakit, saya dan istri sudah diberi suntikan oleh GP kita untuk pencegahan Bakteri Peumonia ini karena di Ozi orang yang memasuki usia 70 tahun sangat diberi segala macam pengobatan pencegahan secara cuma-cuma

    ReplyDelete
  2. sangat mengerikan yah kalau mendengar ada Bakteri yang resistance terhadap segala Antibiotics

    ReplyDelete