SUBJECT: Diet untuk penderita hyperuricemia?
Purine (bahasa Indonesianya: purin) merupakan senyawa kimia yang banyak terdapat dalam protein hewani dari makanan dan akan dipecah menjadi asam urat melalui metabolisme tubuh.
Kondisi meningkatnya kadar asam urat (uric acid) dalam darah disebut: hyperuricemia. Jika kristal asam urat ini berlebihan, akan membentuk deposit di tubuh, seringnya di persendian sehingga bisa menyebabkan serangan gout (gout arthritis).
Karena sumber asam urat, yakni purin terdapat di makanan yang kita makan, maka pengaturan diet makan untuk menjaga agar asam urat tetap dalam batas normal memang penting untuk penderita gout.
Dari medicinenet.com:
Foods considered high in purine content include:
- Some fish, seafood and shellfish, including anchovies, sardines, mackerel, scallops, herring, mussels, codfish, trout, and haddock
- Some meats such as bacon, turkey, veal, venison, liver, beef kidney, brain, and sweetbreads
- Alcoholic beverages
Foods considered moderate in purine content include:
- Meats such as beef, veal, poultry, pork, and lamb. Crab, lobster, oysters, and shrimp
- Vegetables such as asparagus, spinach, green peas, mushrooms, and cauliflower. Kidney beans, lentils, and lima beans
Your other goals will be to:
-Lose weight if you are overweight: Make sure that you do this slowly because fast weight loss will actually increase the uric acid levels in your blood.
-Drink plenty of fluids: This can help with removing uric acid from your blood. Be sure to limit fluids with caffeine and/or calories; water and seltzer are the best choices.
-Increase your lowfat dairy intake: There has been some research that has shown that those who drink lowfat milk or consume lowfat yogurt have lower uric acid levels than those who do not.
-Keep your fruit and vegetable intake up: You may get a reduction in your uric acid levels by having fruit, such as cherries, and vegetables (those that are not sources of purine), as part of your diet.
Dari artikel RS. Panti Rapih:
KELOMPOK BAHAN MAKANAN YANG MENGANDUNG PURIN ( DALAM TIAP 100 GRAM BAHAN MENTAH ) KELOMPOK BAHAN MAKANAN TINGGI PURIN ( Mengandung 150-800 mg )
- Sardin / ikan kaleng- Hati otak- Ginjal- Paru-paru- Usus- Babat- Pankreas- Kaldu blok / bubuk- Daging itik, bebek, angsa merpati, burung unta.
KELOMPOK BAHAN MAKANAN SEDANG PURIN
- Daging ayam- Daging sapi- Ikan- Kerang-kerangan ( kacang merah, kerang putih, tiram, remis,dsb)- Kacang-kacangan (kacang merah, kacang hijau, kacang tanah, kedelai)- Kacang polong- Kacang panjang- Asparagus- Kembang kol- Brokoli- Kol kembang- Bayam jamur
KELOMPOK BAHAN MAKANAN RENDAH PURIN
- Sayuran segar selain yang disebutkan dalam kelompok- Buah-buahan segar- Susu- Keju- Telur- Padi-padian / serealia
DIET RENDAH PURIN
Selain dengan obat-obatan yang dapat mempertinggi pengeluaran asam urat dari tubuh, penanganan gout juga harus dijalankan lewat diet rendah purin. Konsumsi purin harus dibatasi hanya 120-150 mg sehari, jauh dibawah kadar purin makanan sehari-hari yang umumnya mencapai 600-1000 mg. Untuk itu hindari makan sardin, kerang, daging unggas ( khususnya daging bebek, angsa dan burung ), jeroan (hati,ampela,usus,jantung,paru-paru, limpa, babat), otak, kaldu blok/bubuk, serta makanan minuman yang dibuat menggunakan ragi (seperti roti, tapai, brem, aneka kue tradisional yang difermentasikan menggunakan ragi/tapai seperti apem). Sebab bahan makanan tersebut kadar asam uratnya sangat tinggi.
Beberapa jenis sayuran konsumsinya harus dibatasi tidak lebih dari 50 gram sehari, karena kandungan yang lumayan tinggi. Diantaranya asparagus, kacang polong, buncis, kembang, brokoli, kol brusel, bayam, jamur. Begitu pula dengan beberapa bahan makanan sumber protein baik hewani maupun nabati. Daging sapi, daging ayam, ikan tongkol, ikan tengiri, ikan bawal, ikan bandeng, tahu, tempe, dan oncom sebaiknya tidak melebihi 50 gram sehari.Aneka kacang-kacangan kering (kacang hijau,kacang tanah,kacang tolo atau kacang tunggak,kacang merah, atau kacang joglo,kedelai) dan dan hasil olahannya (tahu,tempe,oncom) dibatasi paling banyak 25 gram sehari.
Untuk menutupi keterbatasan konsumsi sumber protein, imbangi dengan makan telur, keju, dan minum susu karena bahan makanan tersebut hampir tidak mengandung purin.
SUBJECT: Lingkaran hitam di sekitar mata?
Lingkaran hitam di bawah mata biasanya disebabkan karena kurang tidur, stress, dehidrasi, terlalu lama ter-ekspose sinar matahari dan sebagainya yang berakibat pada kurang baiknya sirkulasi di daerah sekitar mata. Di luar itu, ada faktor keturunan yang berperan besar juga, apalagi kalau sudah dialami sejak remaja. Semakin tipis kulit di daerah sekitar mata semakin jelas lingkaran hitam tersebut terlihat.
Tips yang cukup terkenal untuk membantu menyamarkan lingkaran hitam tersebut misalnya dengan mengkompres mata menggunakan irisan ketimun atau air dingin. Yang pasti, banyak minum air putih, sedikitnya 8-10 gelas sehari, cukup istirahat teratur dan makan makanan yang setimbang gizinya (boleh konsumsi yang banyak mengandung vitamin A sehingga bisa membantu menyehatkan mata). Jangan lupa hindari terkena sinar matahari berlebihan, pakailah sunscream untuk melindungi kulit. Pemakaian kosmetik seperti concealer yang dikeluarkan oleh produk produk kecantikan untuk menyamarkan juga boleh boleh saja tapi jangan lupa disesuaikan dengan jenis kulitnya.
SUBJECT: Kenapa bisa terjadi "sudden death" setelah mandi air panas?
Mandi air panas cukup lama, apalagi jika berendam bisa meningkatkan suhu tubuh berlebihan (hyperthermia). Mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan panas berlebihan dari dalam tubuh dengan berkeringat, setelah itu perlahan suhu rectal, suhu basal badan akan naik. Terjadi tachycardia, tachypnea sekaligus vasodilatasi untuk membantu mempercepat transport melepaskan panas ke permukaan kulit, yang akhirnya berakibat terjadi hypotensi dan bisa terjadi syncope apalagi jika setelah itu berdiri tiba tiba.
Setelah itu terekspose mendadak dengan udara dingin, menyebabkan vasokonstriksi, terjadi mekanisme yang berlawanan dengan yang terjadi saat terekspose panas sebelumnya. Heart rate turun, dan tekanan darah kembali meningkat.
Pada dua situasi yang berbeda ini workload jantung meningkat, dan terutama pada orang orang tua atau orang yang mempunyai penyempitan jantung, plaque dsb mudah terjadi ischemic heart attack. Plus abnormal heart rhythm yang terjadi juga bisa memicu ventricular fibrillation dimana akhirnya denyut jantung dan aliran darah ke organ organ vital tubuh stop, berakhir dengan sudden death.
Tuesday, March 31, 2009
Sunday, March 29, 2009
The Amazing Work of Religion and Medicine
The Amazing Work of Religion and Medicine
Yesterday, I attended a special lecture about differences between western and eastern bioethics. It was a quite interesting lecture, telling us to see one bioethics problem from multiple points of view, i.e. western and eastern point of view.
First, of course, we have to realize the different perception between western and eastern culture. The way people act or the way they make a decision is influenced by their culture. The foundation in western culture is based on logical thinking; individualism, independent, and reality, while in eastern culture, intuition and relation with others are dominating. This different culture will affect on how they solve their daily problems, included medical bioethics problems. Assisted-suicide (euthanasia), for example, has been legalized in two states in America, while it is considered taboo in Japan. “Dying with dignity” is also an individual right in western culture, but not in eastern culture. It is God who has our life and it is only God who can take our life.
Actually, I wish I could listen to more explanations about many bioethics issues and how western and eastern doctors solve the problems, but then the lecture ended up in a somehow unrelated explanation about the meaning of Japanese kanji or Chinese character. This has made the lecture turned into Japanese language class!
Well, despite its unexpected Japanese language class, this lecture reminded me of last month issue in TIME magazines. Big font title, “How Faith Can Heal” was written on its front cover, with a lengthy 14 pages discussion inside. This issue is attractive! I know science seems likely to collide with religion, on the other hand, I can not neglect that spirituality is working and may be very good for our health. Especially in Indonesia where many of the people easily believe that your health problems may disappear only by praying to God or even only by touching a magical stone, like Ponari’s miracle stone. I am glad that scientists and doctors (even) in the logical western countries also give attention to this matter.
According to the article, praying really works in our body. The parietal lobe in brain is the special area which in particular involved in praying activities. When people engage in prayer, the frontal lobes will first take the lead since they govern focus and concentration and during deep prayer, the parietal lobe will replace the work. If we ever prayed so hard that we have lost our sense of world outside ourselves, or if we ever mediated so deeply that we can feel the boundaries of our body dissolved, that is our parietal lobe at work. Interestingly, a growing body of scientific evidence suggests that faith may indeed bring us health. People who attend religious services do have a lower risk of dying in any one year than people who don’t attend. People who believe in loving God fare better after a diagnosis of illness than people who believe in a punitive God. Dr. Gail Ironson, a professor of psychiatry and psychology at the University of Miami who studies HIV and religious belief, said in this article: “Spirituality predicts for better disease control”.
Not only do prayers heal our body, they also make a change in our brain. If we pray and mediate enough, some changes in brain become permanent. Long-term meditators-those with 15 years of practice or more-appear to have thicker frontal lobes than nonmeditators. People who describe themselves as highly spiritual tend to exhibit an asymmetry in the thalamus-a feature that other people can develop after just eight weeks of training in meditation skills. These changes bring another advantage, better functioning frontal lobes help boost memory. In one study, Dr. Andrew Newberg, a professor of radiology, psychology and religious study at the University of Pennsylvania and co-founder of Penn’s Center for Spirituality and the Mind, found that people who complained of poor recall have improved their memory after underwent meditation training. As the frontal lobes are getting bigger, the ability to remember is getting better.
Although many studies seem support those amazing effects of praying, a scientific basis for a link between prayer and healing is a blur. A larger study in 2005 by cardiologist Herbert Benson at Harvard University showed that complications occurred in 52% of heart-bypass patients who received intercessory prayer and 51% of those who didn’t. No difference at all. Also Dr. Richard Sloan, professor of behavioral medicine at Columbia University Medical Science, said, “It is impossible to know how much prayer is received and since you don’t know that, you can’t determine dose”. The most important basic methodological reason is difficult to fulfill. Religion and science address different concerns. “It’s a fatal flaw to think that you can use the methods of science to learn something meaningful about religion” said him.
One thing we all must realize here, prayer effect is just like placebo effect. The placebo effect is a well-known medical phenomenon where the treatments results can be affected by the way the patients think about their treatment. If the patient believes and expects that the treatment will success, then it will. The placebo effect can work all manner of curative magic against all manner of ills. Give a patient a sugar pill but call it an analgesic and pain may actually go away. Dr. Newberg also described a cancer patient whose tumors shrank when he was given an experimental drug, grew back when he learned that the drug was ineffective in other patients, and shrank again when his doctor administered sterile water but said it was a more powerful version of the medication. “The brain appears to be able to target the placebo effect in a variety of ways,” said Dr. Newberg.
If placebo pills can really work to heal us, then it is not surprising, believe in God and the teachings of religion will heal us as well. Yes, so far logical science methods cannot be used to learn something abstract like religion. But again, we have to admit that religious belief is not just a matter of psychological mind, it does really affect our physical body.
Talking about such an intimate topic like religion in medical practices is difficult for both the doctors and the patients. We had to say Hippocratic Oath (it was widely believed written by Hippocrates in the 4th century, BC) before we entered clinical practice as doctors, and in the Indonesian modified Hippocratic Oath, we promised that we will treat our patients regardless of his religion, his ethnic group, his political view, and his social status. So yes, I do feel difficult to have a religious conversation with patients. In my opinion, doctors do not have to talk intimately about religious belief with his patients because it may raise prejudice and bias his judgment, but I do agree that we need someone in the middle who can break the ice. Patients need to be encouraged to achieve the goal of the treatment.
Back to the lecture, at the end of the session the lecturer encouraged us to always try to understand every issue from many different perspectives. Regarding the matter of healing process, it’s the result, not the source that counts the most.
Warm regards,
Kathryn-Tokyo
Reference:
- Mind & Body Special Issue: How Faith Can Heal (TIME, February 23, 2009)
Yesterday, I attended a special lecture about differences between western and eastern bioethics. It was a quite interesting lecture, telling us to see one bioethics problem from multiple points of view, i.e. western and eastern point of view.
First, of course, we have to realize the different perception between western and eastern culture. The way people act or the way they make a decision is influenced by their culture. The foundation in western culture is based on logical thinking; individualism, independent, and reality, while in eastern culture, intuition and relation with others are dominating. This different culture will affect on how they solve their daily problems, included medical bioethics problems. Assisted-suicide (euthanasia), for example, has been legalized in two states in America, while it is considered taboo in Japan. “Dying with dignity” is also an individual right in western culture, but not in eastern culture. It is God who has our life and it is only God who can take our life.
Actually, I wish I could listen to more explanations about many bioethics issues and how western and eastern doctors solve the problems, but then the lecture ended up in a somehow unrelated explanation about the meaning of Japanese kanji or Chinese character. This has made the lecture turned into Japanese language class!
Well, despite its unexpected Japanese language class, this lecture reminded me of last month issue in TIME magazines. Big font title, “How Faith Can Heal” was written on its front cover, with a lengthy 14 pages discussion inside. This issue is attractive! I know science seems likely to collide with religion, on the other hand, I can not neglect that spirituality is working and may be very good for our health. Especially in Indonesia where many of the people easily believe that your health problems may disappear only by praying to God or even only by touching a magical stone, like Ponari’s miracle stone. I am glad that scientists and doctors (even) in the logical western countries also give attention to this matter.
According to the article, praying really works in our body. The parietal lobe in brain is the special area which in particular involved in praying activities. When people engage in prayer, the frontal lobes will first take the lead since they govern focus and concentration and during deep prayer, the parietal lobe will replace the work. If we ever prayed so hard that we have lost our sense of world outside ourselves, or if we ever mediated so deeply that we can feel the boundaries of our body dissolved, that is our parietal lobe at work. Interestingly, a growing body of scientific evidence suggests that faith may indeed bring us health. People who attend religious services do have a lower risk of dying in any one year than people who don’t attend. People who believe in loving God fare better after a diagnosis of illness than people who believe in a punitive God. Dr. Gail Ironson, a professor of psychiatry and psychology at the University of Miami who studies HIV and religious belief, said in this article: “Spirituality predicts for better disease control”.
Not only do prayers heal our body, they also make a change in our brain. If we pray and mediate enough, some changes in brain become permanent. Long-term meditators-those with 15 years of practice or more-appear to have thicker frontal lobes than nonmeditators. People who describe themselves as highly spiritual tend to exhibit an asymmetry in the thalamus-a feature that other people can develop after just eight weeks of training in meditation skills. These changes bring another advantage, better functioning frontal lobes help boost memory. In one study, Dr. Andrew Newberg, a professor of radiology, psychology and religious study at the University of Pennsylvania and co-founder of Penn’s Center for Spirituality and the Mind, found that people who complained of poor recall have improved their memory after underwent meditation training. As the frontal lobes are getting bigger, the ability to remember is getting better.
Although many studies seem support those amazing effects of praying, a scientific basis for a link between prayer and healing is a blur. A larger study in 2005 by cardiologist Herbert Benson at Harvard University showed that complications occurred in 52% of heart-bypass patients who received intercessory prayer and 51% of those who didn’t. No difference at all. Also Dr. Richard Sloan, professor of behavioral medicine at Columbia University Medical Science, said, “It is impossible to know how much prayer is received and since you don’t know that, you can’t determine dose”. The most important basic methodological reason is difficult to fulfill. Religion and science address different concerns. “It’s a fatal flaw to think that you can use the methods of science to learn something meaningful about religion” said him.
One thing we all must realize here, prayer effect is just like placebo effect. The placebo effect is a well-known medical phenomenon where the treatments results can be affected by the way the patients think about their treatment. If the patient believes and expects that the treatment will success, then it will. The placebo effect can work all manner of curative magic against all manner of ills. Give a patient a sugar pill but call it an analgesic and pain may actually go away. Dr. Newberg also described a cancer patient whose tumors shrank when he was given an experimental drug, grew back when he learned that the drug was ineffective in other patients, and shrank again when his doctor administered sterile water but said it was a more powerful version of the medication. “The brain appears to be able to target the placebo effect in a variety of ways,” said Dr. Newberg.
If placebo pills can really work to heal us, then it is not surprising, believe in God and the teachings of religion will heal us as well. Yes, so far logical science methods cannot be used to learn something abstract like religion. But again, we have to admit that religious belief is not just a matter of psychological mind, it does really affect our physical body.
Talking about such an intimate topic like religion in medical practices is difficult for both the doctors and the patients. We had to say Hippocratic Oath (it was widely believed written by Hippocrates in the 4th century, BC) before we entered clinical practice as doctors, and in the Indonesian modified Hippocratic Oath, we promised that we will treat our patients regardless of his religion, his ethnic group, his political view, and his social status. So yes, I do feel difficult to have a religious conversation with patients. In my opinion, doctors do not have to talk intimately about religious belief with his patients because it may raise prejudice and bias his judgment, but I do agree that we need someone in the middle who can break the ice. Patients need to be encouraged to achieve the goal of the treatment.
Back to the lecture, at the end of the session the lecturer encouraged us to always try to understand every issue from many different perspectives. Regarding the matter of healing process, it’s the result, not the source that counts the most.
Warm regards,
Kathryn-Tokyo
Reference:
- Mind & Body Special Issue: How Faith Can Heal (TIME, February 23, 2009)
- Meditation image http://media.photobucket.com/image/meditation/simian2021/meditation.jpg
Saturday, March 21, 2009
Preparing for Pregnancy: Part I
Preparing for Pregnancy: Part I
(Summarized from "Plan to Get Pregnant: 10 Steps to Maximum Fertility" by Zita West)
(Summarized from "Plan to Get Pregnant: 10 Steps to Maximum Fertility" by Zita West)
Kali ini cuma mau berbagi cerita dari salah satu buku bacaan yang ada. Buku ini tidak sengaja ketemu pas lagi mampir ke Kinokuniya di Minami Shinjuku. Iseng iseng baca, ternyata isinya cukup menarik, bahkan menambah pengetahuan saya sebagai dokter. Akhirnya beli, baca dan saya share di sini. Selamat membaca, semoga berguna.
Saya yakin banyak di antara kita, juga rekan rekan sejawat yang mendapat pertanyaan atau bahkan mengalami sendiri bagaimana pusingnya kalau ditanya “kok belum hamil hamil? padahal sudah cek sana sini semua normal saja”. Ternyata untuk sebagian orang, hamil tidak semudah membalikkan tangan, bahkan banyak yang sampai putus asa mencoba berbagai cara untuk hamil. Selain meninjau dan mencoba memecahkan masalah dari sisi dunia medis, buku ini juga mengajak kita untuk mencoba mengenali diri kita sendiri dan gaya hidup kita sehari hari yang ternyata juga bisa mempengaruhi kesuburan dan kesempatan kita untuk hamil.
Dalam buku ini ada 10 langkah yang membahas tentang bagaimana mempersiapkan badan dan aktivitas kita agar si “burung bangau” bisa segera datang membawa buah hati yang diharapkan. Dan berikut ini langkah langkahnya yang sudah berusaha saya ringkas supaya mudah dibaca.
Step one: Trying for a baby
Di langkah pertama ini dijabarkan bagaimana kita harus menelaah faktor faktor yang secara umum bisa mempengaruhi kesuburan, antara lain:
- Age
Disukai atau tidak, umur seorang wanita penting dalam menentukan tingkat kesuburannya. Dalam usia reproduktifnya, seorang wanita menghasilkan kira kira 400 telur yang matang dan biasanya kira kira 15 tahun sebelum usia menopause (berarti kira kira usia 35 tahun) persediaan telur menurun, begitupula kualitas telur yang dihasilkan. Meskipun hal ini bisa mempersulit kemungkinan hamil, tapi dengan majunya kualitas kesehatan, juga dengan merubah lifestyle serta asumsi nutrisi yang baik untuk meningkatkan kesuburan, banyak pasangan yang berhasil memperoleh anak meski sudah berusia di atas 35 tahun.
- BMI (Body Mass Index)
Berat badan yang berlebihan maupun kekurangan ternyata berpengaruh pada tingkat kesuburan. Pada wanita dengan berat badan berlebih, sel sel lemak akan melepaskan estrogen yang bisa menekan hormon penting dalam siklus menstruasi wanita, yakni hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone). Tanpa FSH, tidak akan terjadi ovulasi. Sedangkan pada wanita yang kekurangan berat badan, kadar estrogen juga bisa rendah dan menyebabkan menstruasi menjadi tidak teratur atau bahkan stop.
Kita bisa mengukur berat badan ideal melalui BMI, caranya dengan membagi berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m). BMI ideal berkisar antara 20-25.
- Common medical causes
Problem medis yang sering menyebabkan kesulitan hamil antara lain endometriosis, polycystic ovary syndrome (PCOS), dan fibroids. Kita harus waspada dan bisa mengenali gejala yang ada untuk sesegera mungkin menindaklanjuti penanganannya ke dokter ob-gyn. Gejala endometriosis misalnya: nyeri hebat saat menstruasi, darah haid yang banyak (sampai harus seing mengganti pembalut dalam 1 atau 2 jam), atau waktu menstruasi yang panjang (lebih dari seminggu). Selain itu obat obatan yang sering kita minum sehari hari juga mempunyai efek terhadap kesuburan. Simple analgesic seperti ibuprofen, juga bisa mempengaruhi ovulasi, implantasi dan meningkatkan resiko keguguran. Begitupula dengan antihistamines untuk alergi atau batuk seperti Benadryl bisa berpengaruh terhadap sekresi lendir rahim sehingga menganggu implantasi. Sebaiknya selalu konsultasikan ke dokter kandungan, obat obat apa yang boleh kita konsumsi menjelang dan saat hamil.
Step two: Basics for women
Disini dibahas bagaimana supaya seorang wanita mengenali dirinya sendiri termasuk mengenal siklus menstruasi karena untuk seorang wanita yang ingin hamil tentu saja penting mengetahui kapan masa suburnya sehingga peluang terjadinya pembuahan lebih besar.
Siklus menstruasi yakni: hari pertama menstruasi sampai hari terakhir sebelum menstruasi berikutnya. Siklus menstruasi antara 23 sampai 35 hari tergolong normal, sepanjang siklus tersebut teratur (kadang bisa telat atau sedikit lebih cepat, tidak masalah). Umumnya menstruasi berlangung antara 3-5 hari, tetapi asalkan teratur, lebihpun sebenarnya tidak ada masalah sepanjang tidak ada keluhan lain yang menyertainya.
Siklus menstruasi seorang wanita dipengaruhi secara kompleks oleh berbagai hormon dalam tubuhnya. Melenceng sedikit dari buku, disini siklus menstruasi saya bagi 3 (di buku dibagi 2) karena menurut saya lebih mudah dimengerti.
- Fase folikular (durasi bervariasi tergantung dari siklus individual setiap wanita dan dipengaruhi oleh berbagai keadaan/kondisi tubuh)
Dimulai sejak hari pertama menstruasi sampai ovulasi berikutnya. Disini hypothalamus di otak akan melepaskan gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang lalu akan merangsang pengeluaran follicle-stimulating hormone (FSH). FSH ini akan merangsang pembentukan folikel telur di ovarium. Telur yang berkembang di ovarium lalu akan merangsang pengeluaran hormon estrogen untuk membantu mempersiapkan kondisi dalam rahim agar menerima kehadiran si telur setelah ia dilepaskan ke dalam rahim. Selain itu, naiknya kadar estrogen akan memberikan umpan balik negatif, menekan produksi hormone FSH sehingga setiap ovulasi, hanya akan ada satu atau dua telur matang yang siap dilepaskan ke dalam rahim.
Dimulai sejak hari pertama menstruasi sampai ovulasi berikutnya. Disini hypothalamus di otak akan melepaskan gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang lalu akan merangsang pengeluaran follicle-stimulating hormone (FSH). FSH ini akan merangsang pembentukan folikel telur di ovarium. Telur yang berkembang di ovarium lalu akan merangsang pengeluaran hormon estrogen untuk membantu mempersiapkan kondisi dalam rahim agar menerima kehadiran si telur setelah ia dilepaskan ke dalam rahim. Selain itu, naiknya kadar estrogen akan memberikan umpan balik negatif, menekan produksi hormone FSH sehingga setiap ovulasi, hanya akan ada satu atau dua telur matang yang siap dilepaskan ke dalam rahim.
- Fase Ovulasi – Masa subur (berlangsung kira kira 1 minggu)
Estrogen juga akan memberi sinyal ke hypothalamus, memberi tahu bahwa telur sudah matang, dan hypothalamus kembali akan mengatur pelepasan hormon lainnya yang dikenal dengan nama luteinising hormone (LH). LH akan menyebabkan dinding folikel yang melindungi si telur pecah, dan telur matang dilepaskan ke dalam rahim (ovulasi). Fase dimana kadar estrogen mulai naik, LH naik, dan terjadi ovulasi merupakan “fertile window” dimana pembuahan dan kehamilan bisa terjadi.
Tanda tanda masa subur yang bisa dikenali:
* naiknya LH bisa dideteksi dengan ovulation-predictor kit yang banyak dijual di toko obat.
* sekresi lendir rahim yang lebih banyak, tebal, lengket, dan jika direnggangkan dengan ibu jari tidak pecah, seperti ada lemnya (“if testing the mucus between the thumb and forefinger, it will stretch rather than break”)
* naiknya temperature tubuh yang dipicu oleh naiknya kadar progesterone akibat rangsangan dari sisa folikel telur yang sudah pecah. Ini sebabnya pasangan yang ingin hamil diminta untuk rutin mencatat suhu basal tubuh sehingga mudah mendeteksi kenaikan suhu yang menandai masa ovulasi.
- Fase luteal (durasi hampir selalu konstan, 14-16 hari)
Berlangsung sejak ovulasi sampai menstruasi berikutnya. Kadar LH akan langsung turun setelah ovulasi, sementara sisa folikel telur yang pecah akan menghasilkan hormone progesterone. Bersama hormone estrogen yang masih tinggi, hormone progesterone ini akan menyebabkan kenaikan suhu badan, penebalan dinding rahim untuk mempermudah menempelnya telur yang sudah dibuahi ke dinding rahim, plus juga membantu memberikan nutrisi sementara untuk si telur hingga nanti plasenta mengambil alih tanggung jawabnya kelak.
Jika telur tidak dibuahi, maka ia akan rusak dan hormone estrogen serta progesterone akan turun disertai luruhnya dinding rahim yang sudah menebal tadi, dan inilah saat menstruasi.
Tips menghitung masa subur dari saya:
Fase luteal panjangnya hampir selalu konstan sekitar 14-16 hari, tergantung per individu.
Ini berarti cukup mencatat tanggal hari pertama menstruasi secara teratur, setelah mengetahui siklus menstruasi, bisa mengetahui perkiraan tanggal menstruasi bulan berikutnya. Nah, dari perkiraan tanggal menstruasi berikutnya, kurangi panjang fase luteal (14 hari). Disitulah tanggal ovulasi. Karena sperma juga bisa bertahan rata rata 3-5 hari dalam vagina plus perhitungan kadang bisa meleset, ya dari tanggal ovulasi, majukan 2-3 hari, dan mundurkan juga 2-3 hari. Total kira kira 1 minggu ada periode masa subur tersebut.
Contoh: tanggal perkiraan haid bulan berikutnya tanggal 25.
Maka 25-14: 11. Berarti masa subur berkisar antara tanggal 8-14. (waktunya untuk berdekatan terus dengan sang suami :))
Step three: basics for men
Pria juga penting mengenali kesuburan dirinya sendiri, bagaimanapun juga kehamilan adalah proses yang membutuhkan kerjasama baik dari kedua belah pihak, pria dan wanita.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kesuburan pria:
- Age
Umur juga berpengaruh dalam kesuburan pria. Untuk menghasilkan sperma yang matang butuh kira kira 100 hari (380 kali pembelahan sel), dan seiring pertambahan usia pria, pembelahan sel juga menjadi lambat dan sering terganggu mengakibatkan banyaknya sperma yang abnormal. Meskipun produksi sperma sendiri berlangsung terus 24 jam sehari, setiap hari, tapi proporsi sperma yang bentuknya abnormal, tidak bisa berenang baik, dan juga membawa cacat genetik meningkat jumlahnya (“around 16% in men over the age of 45, compared to 4 percent for those in their late 20s”). Sperma yang matur terdiri dari kepala sperma (membawa 23 kromosom berisi material genetik yang juga akan menentukan jenis kelamin si anak), badan sperma (sebagai sumber energi yang membuat sperma bisa bergerak), dan buntut sperma (memungkinkan sperma berenang cepat dan lurus). Kelainan pembentukan sperma bisa terjadi di bagian mana saja, entah di kepala sperma, entah di badan atau buntut sperma.
- Lifestyle factors
Tempat pembentukan sperma di dalam testis memerlukan suhu sedikit lebih rendah dibawah suhu badan untuk bisa bekerja optimal, karena itulah testis (yang berada di dalam skrotum) berada tergantung di luar tubuh. Ia akan memanjang menjauhi tubuh yang panas pada musim panas, dan akan mengkerut mendekati tubuh pada musim dingin. Kebiasaan menaruh laptop di pangkuan bisa menyebabkan naiknya temperature di skrotum dan mengakibatkan kerusakan pada sperma. Tidak ada salahnya mengurangi frekuensi penggunaan laptop yang ditaruh langsung di atas pangkuan. Begitupula sebaiknya menghindari pemakaian underpants atau jeans yang terlalu ketat dalam jangka waktu lama karena bisa meningkatkan suhu dalam skrotum.
Step three: basics for men
Pria juga penting mengenali kesuburan dirinya sendiri, bagaimanapun juga kehamilan adalah proses yang membutuhkan kerjasama baik dari kedua belah pihak, pria dan wanita.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kesuburan pria:
- Age
Umur juga berpengaruh dalam kesuburan pria. Untuk menghasilkan sperma yang matang butuh kira kira 100 hari (380 kali pembelahan sel), dan seiring pertambahan usia pria, pembelahan sel juga menjadi lambat dan sering terganggu mengakibatkan banyaknya sperma yang abnormal. Meskipun produksi sperma sendiri berlangsung terus 24 jam sehari, setiap hari, tapi proporsi sperma yang bentuknya abnormal, tidak bisa berenang baik, dan juga membawa cacat genetik meningkat jumlahnya (“around 16% in men over the age of 45, compared to 4 percent for those in their late 20s”). Sperma yang matur terdiri dari kepala sperma (membawa 23 kromosom berisi material genetik yang juga akan menentukan jenis kelamin si anak), badan sperma (sebagai sumber energi yang membuat sperma bisa bergerak), dan buntut sperma (memungkinkan sperma berenang cepat dan lurus). Kelainan pembentukan sperma bisa terjadi di bagian mana saja, entah di kepala sperma, entah di badan atau buntut sperma.
- Lifestyle factors
Tempat pembentukan sperma di dalam testis memerlukan suhu sedikit lebih rendah dibawah suhu badan untuk bisa bekerja optimal, karena itulah testis (yang berada di dalam skrotum) berada tergantung di luar tubuh. Ia akan memanjang menjauhi tubuh yang panas pada musim panas, dan akan mengkerut mendekati tubuh pada musim dingin. Kebiasaan menaruh laptop di pangkuan bisa menyebabkan naiknya temperature di skrotum dan mengakibatkan kerusakan pada sperma. Tidak ada salahnya mengurangi frekuensi penggunaan laptop yang ditaruh langsung di atas pangkuan. Begitupula sebaiknya menghindari pemakaian underpants atau jeans yang terlalu ketat dalam jangka waktu lama karena bisa meningkatkan suhu dalam skrotum.
- Common medical conditions
Penyakit seperti diabetes dan tekanan darah tinggi bisa menyebabkan gangguan ereksi. Begitupula dengan penyakit penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual (Sexually Transmitted Diseases/STD) seperti chlamydia, gonorrhea dsb, bisa menyebabkan radang dan perlengketan pada jalan keluar sperma yang tentu saja berakibat pada gangguan kesuburan pria.
Info tambahan:
Jenis kelamin anak ditentukan oleh sperma pria (bukan wanita lho).
Telur wanita dan sperma pria masing masing membawa 1 set kromosom yang berjumlah 23. Telur ibu hanya membawa khusus kromosom wanita yang diberi label xx sedangkan sperma ayah membawa label wanita plus pria, xy. Pada saat pembuahan akan terjadi kombinasi yang unik dari kromosom tersebut, sehingga si embryo akan memiliki 23 pasang (46) kromosom. Jika kombinasi yang terjadi menghasilkan perpaduan xx, si embryo akan berjenis kelamin wanita; dan bila kombinasi yang dihasilkan menjadi xy, si embryo akan berjenis kelamin pria.
To be continued …….
Subscribe to:
Posts (Atom)