Friday, October 25, 2019

Misleading Cancer Treatment


Cancer Treatment: True or False?

Saat mengikuti simposium tentang kanker yang diselenggarakan oleh Japanese Cancer Association bulan September lalu, secara khusus saya sempatkan hadir di program acara dengan judul [Cancer Research in the next 10 years]. Ada satu segmen yang ingin saya ikuti karena topiknya sudah menjadi perhatian saya sejak dulu, dan dokter pembicaranya juga kebetulan saya tahu mempunyai perhatian yang sama.
Segmen ini membahas mengenai luasnya peredaran informasi yang tidak akurat di bidang medis. Fake news melalui media sosial tidak hanya seputar urusan politik, tapi juga ada di ranah medis dan saat ini dibutuhkan keterlibatan lebih aktif dari dokter untuk mengatasi masalah tersebut.  

Berkaitan dengan kanker, ada satu yang ingin saya soroti yaitu maraknya klaim pengobatan kanker yang sebenarnya belum terbukti kebenarannya, atau istilahnya “fraudulent treatment” - いい加減な医療 -
Saat ini memang pengobatan kanker banyak mengalami kemajuan dibandingkan 10 tahun lalu. Kita punya lebih banyak pilihan strategi untuk menghadapi kanker. Dulu kita tahunya hanya kemoterapi, yang membunuh sel kanker, sel sehat -termasuk membunuh harapan pasien-, pokoknya sudah vonis mati rasanya. Tapi sekarang, kita punya pilihan yang kita kenal sebagai “targeted therapy”; yang menyasar gen tertentu yang jadi biang keladi terjadinya kanker. Contoh targeted therapy ini, antara lain obat Herceptin (trastuzumab) untuk HER2 positive breast cancer; Erlotinib (Tarceva), atau Gefitinib (Iressa) untuk kanker dengan mutasi gen EGFR yang banyak ditemukan di lung cancer; Imatinib (Gleevec) yang mentargetkan protein tyrosine kinase untuk leukemia; Sorafenib (multikinase inhibitor) untuk liver cancer; dan masih banyak lainnya. Immunotherapy juga berkembang pesat apalagi sejak diketahui adanya mekanisme “immune checkpoint pathway” dimana sel kanker diketahui mempunyai protein yang bisa mengelabui sel T (sel imun dalam tubuh) untuk stop menyerang sel kanker. Penemuan protein inilah yang menghantarkan Prof Tasuku Honjo (Kyoto University) dan James Allison (MD Anderson Cancer Center) mendapatkan hadiah Nobel di bidang medicine tahun 2018 lalu. Embrolizumab (Keytruda) dan Nivolumab (Opdivo) adalah contoh obat obat baru yang mentargetkan PD-1/PD-L1; protein yang bertanggung jawab dalam mekanisme sistem imun ini.

Selama proses mencari alternatif pengobatan baru ini, banyak riset, banyak kendala, banyak cara yang harus dicoba dan diteliti satu demi satu. Kanker ini bukan hanya satu jenis penyakit saja seperti misalnya TBC yang jelas disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Every cancer is different, and every cancer’s patient is different. Mutasi gen yang ditemukan di satu jenis kanker belum tentu ditemukan juga di jenis kanker lainnya. Bahkan jenis kanker yang sama tapi beda pasien ya bisa beda lagi jalan ceritanya. Kondisi klinis pasien (keadaan umum, usia, stadium, pathological staging, positive/negative tumor markers, dsb) juga sangat mempengaruhi arah penanganan yang diambil. Pengobatan kanker masih butuh perjuangan panjang dan kolaborasi dari semua aspek medis yang bisa terlibat, dokter, ilmuwan, ahli laboratory, bidang science informatika, bio engineering, molecular biology, dsb.

Sayangnya banyak pasien kanker tidak menyadari hal ini karena kurangnya pengertian dan pengetahuan yang benar tentang kondisi penyakitnya sendiri. Kondisi psikologis pasien kanker yang pada dasarnya “apapun diambil/dilakukan demi sembuh” terkadang jadi penjebak untuk si pasien sendiri. Mereka mudah percaya dengan segala macam pengobatan mutakhir (dan pengobatan ini kadang meminjam istilah medis - “umbrella term” - seperti terapi stem cell, terapi gen, dsb), yang ditawarkan dengan harga sangat mahal disertai iming iming sembuh hanya berdasarkan testimonials dari segelintir orang tidak dikenal. 
Pasien tentu saja boleh mencoba berbagai macam pengobatan kanker yang ditawarkan (saya juga tidak melarang lho), tapi saya hanya berharap pasien dan keluarganya bisa memilih dan memilah pengobatan mana yang baik dan masuk akal sesuai kondisinya. Beberapa cara untuk menyaring informasi yang masuk, antara lain:

  • Check dan re-check informasi yang masuk dengan bertanya ataupun “search” di tempat yang tepat. Informasi dari website resmi seperti American Cancer Society, National Cancer Institute (NIH), atau dari website RS resmi seperti Mount Elizabeth Hospital, MD Anderson Cancer Center, dsb. Untuk yang di Jepang ada がん情報 dari 国立がんセンター (https://ganjoho.jp/public/index.html).          
  • Informasi dari tempat yang jelas dan kredibel akan lebih baik daripada informasi hanya dari forward obrolan WA group. 
  • Ajak anggota keluarga, saudara, atau teman yang bisa mencari informasi dengan lebih baik untuk berdiskusi. Apa benar misalnya, kanker stadium lanjut dengan kondisi umum yang menurun bisa sembuh total hanya dengan terapi suntikan/infus beberapa kali saja. Apa benar hanya dengan konsumsi satu jenis minuman saja, kanker bisa sembuh total, dsb. Bertukar pikiran dengan orang yang tepat akan sangat menolong membuka wawasan dan logika.
  • Tanyakan dengan jelas data keberhasilan dari terapi yang diminati. Pengobatan kanker yang memang jelas ada hasilnya, biasanya disertai data penunjang yang baik, bukan klaim sepihak. Metode pengobatan yang sudah selesai uji klinis dan di-approved untuk dipakai pasien kanker, secara logika, harus punya riwayat penelitian yang jelas dan kredibel.

Misinformasi di bidang medis ada di mana mana. Jangan pikir kalau pengobatannya di Jepang itu pasti aman. Ini masalah yang ada di semua negara, termasuk negara maju. Berikut salah satu capture artikel yang dibagikan dalam presentasi yang saya ikuti.

Pasien kanker yang harusnya masih bisa ditangani dengan baik malah jadi terlambat dan tidak punya harapan lebih banyak, hanya karena si pasien memilih alternative pengobatan yang tidak tepat. Masalah klasik sejak dulu, tetapi ternyata tidak mudah diselesaikan.

Untuk para tenaga medis, saya share juga pesan yang disampaikan oleh dokter pembicara:

日本癌学会で訴えたこと
日本癌学会のシンポジウム「続・10年後のがん研究」に参加しました。各分野のエキスパートが集まって、今後のがん研究について討論するシンポジウムでした。
私はこの会で、日本で詐欺的治療があふれる酷い現状を報告して、問題の深刻さを癌研究者/学会が認識して、組織的な情報発信をするなどの適切な対処をしないと、標準治療・癌研究の信頼は揺らいで、癌患者/癌医療/癌研究を守っていくことはできないと訴えました。
実は、日本癌学会でこの話題がしっかりと扱われたのは初めてでした。医師/研究者は問題の深刻さを知らないことが多く、残念ながらちゃんと議論されたことがありませんでした。
今回、癌患者がおかれている現状と、医療/研究を脅かしている問題を知ってもらったことで、医療界が情報発信をしていくことの大切さを知ってもらえたのではと思っています。会場からは大きな反響をもらい、具体的な新たな動きにつながる感触も得ました。今後の展開が楽しみです。
--

Kebetulan saat symposium saya mendapat kesempatan berbicara langsung dengan dokter pembicara dan saya sampaikan kepadanya kalau misinformasi tentang kanker ini memang penting diangkat. Tidak sedikit pasien kanker dari Indonesia yang datang ke Jepang hanya karena mereka percaya bahwa pengobatan di sini pasti yang terbaru, baik, dan benar. Mereka tidak menyadari kalau mereka sudah membahayakan diri mereka sendiri.

Inappropriate spread of medical information can kill patients.
Be wise always. 

Reference note: 
https://note.mu/satoru_osuka/n/n730e0521e003


Thursday, October 24, 2019

Japanese Encephalitis

Japanese Encephalitis

Beberapa hari lalu lihat ada teman yang share cerita tentang Japanese Encephalitis (JE) diiringi dengan copas artikel berjudul “Awas nyamuk ganas model baru”. Sewaktu acara kumpul warung kopi WIB-J, eh ternyata ada banyak pertanyaan juga tentang Japanese Encephalitis (JE) ini. Jadi kali ini saya pilih topik mengenai Japanese Encephalitis atau bahasa Jepangnya, 日本脳炎 - nihon nouen

Gara gara namanya yang pakai kata “Japanese”, penyakit ini sering dikira hanya ada di Jepang saja, padahal JE ini merupakan salah satu penyakit yang endemik di Asia (termasuk China, Thailand, Vietnam, Malaysia, maupun Indonesia). Kebetulan saja penyakit ini pertama kali didokumentasikan pada tahun 1871 di Jepang, sehingga namanya jadi Japanese Encephalitis.

JE disebabkan oleh virus yang diberi nama langsung sesuai nama penyakitnya, Japanese Encephalitis Virus (JEV). Virus ini termasuk golongan flaviviridae, yang berarti bersaudara kandung dengan virus Dengue/demam berdarah, virus yellow fever, dan virus Zika. Yellow fever endemik di daerah Afrika, sedangkan virus Zika meski sudah lama ada di Afrika dan Asia, baru mendapat perhatian luas saat terjadi wabah menjelang olimpiade musim panas di Brazil tahun 2016.
Semua virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk, hanya saja mereka beda pilihan mau pakai nyamuk yang mana (meski beda pilihan tapi mereka tetap akur lho 😘). Kita semua pasti sudah hafal soal ulangan IPA, kalau virus dengue ditularkan melalui nyamuk Aedes Aegypti; nah kalau JEV, dia memilih nyamuk jenis Culex sebagai kendaraannya, tepatnya Culex tritaeniorhynchus (bagus ya namanya keren & keriting!😄). Nyamuk ini banyak beredar di daerah rural, pedesaan, peternakan dan memiliki jam aktif di malam hari.

Sesuai namanya, JEV bisa menyebabkan radang otak (encephalitis) dan menimbulkan gejala yang berkaitan dengan serangan tersebut seperti demam, sakit kepala, kejang, koma, lumpuh, sampai bahkan meninggal. Belum lama ini saya ikut conference dan kebetulan bertemu seorang dokter pembicara dari Malaysia yang meneliti tentang JEV. Dari penelitiannya, virus yang disuntik di bagian kaki tikus ternyata memilih imigrasi langsung ke otak, tanpa menimbulkan masalah di kaki. Dalam waktu 3 hari sesudah injeksi, tanda tanda timbulnya masalah pada saraf otak sudah terlihat dan virus sudah positif ditemukan di otak.

Sementara ini belum ada pengobatan yang khusus untuk JE, pengobatan hanya simptomatik untuk mengatasi gejala yang keluar. Saat ini pencegahan terbaik yang bisa dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk dan vaksinasi. Di Jepang, vaksinasi JE termasuk golongan “inactivated vaccine” (不活化ワクチン). Ini golongan vaksin yang menggunakan virus yang sudah dikontrol dan dimatikan dengan cara tertentu, tapi masih bisa menstimulasi respon sistem imun tubuh.
Vaksin JE dibagi dalam 2 tahap. Tahap pertama sudah dapat diberikan sejak bayi umur 6 bulan, sebanyak 3 kali. Mengingat banyak vaksin dasar lain yang juga harus diberikan di usia usia tersebut, vaksin JE biasanya bisa ditunda diberikan setelah anak berusia 3 tahun. Tahap kedua diberikan di usia antara 9-12 tahun, hanya satu kali.

Sebenarnya kasus JE ini sedikit jumlahnya dibandingkan kasus lain yang juga disebabkan oleh virus yang sudah bisa diantisipasi dengan vaksin, misalnya mumps, measles, atau rubella. Tetapi, melihat patogenesisnya yang menyerang otak dan sistem saraf, penyakit JE ini bisa dikategorikan fatal. Dari banyak laporan, dikatakan 1/3 dari pasien JE meninggal, sedangkan separuh dari survivors menderita “neuropshychiatric squeale” – gejala sisa akibat kerusakan saraf.

Oh ya, meski bersaudara dan sama sama ditularkan lewat nyamuk, virus JE dan virus Dengue itu berbeda ya. Jadi JE ini bukan demam berdarah model baru atau nyamuk baru yang lebih ganas (hoax itu mah! 🤓). Saya juga sempat berdiskusi dengan dokter dari Malaysia yang saya ceritakan di atas, saya bilang kalau di Indonesia lebih beken penyakit demam berdarah daripada JE sehingga masih banyak yang salah kaprah. Terus beliau bilang, iya di Malaysia juga.
(dalam hati) duh tetangga ....sama donk, kita saudaraan juga sih ……😜😆


Image: https://hibaby123.com/yobosessyubyoki.html/g10209

Wednesday, March 6, 2019

A New Hope in the Long Battle against HIV-AIDS Virus


A New Hope in the Long Battle against HIV-AIDS Virus


Tanggal 5 Maret 2019 di journal ilmiah bergengsi, Nature, dimuat artikel tentang keberhasilan eliminasi virus HIV di tubuh pasien. Berita ini dengan segera menyebar dan diberitakan di mana mana. Ini berita yang menyegarkan dalam perjalanan panjang melawan penyakit yang masih menjadi momok banyak orang ini. Saya ringkas kisahnya ya.

Tahun 2007, ada pasien dengan leukemia yang juga kebetulan positive HIV menerima transplantasi sumsum tulang untuk mengobati leukemianya. Sumsum tulang yang ia terima berasal dari donor yang memiliki mutasi protein CCR5. Setelah transplantasi, dilakukan terapi immunosuppressive yang agresif hingga pasien bahkan hampir meninggal. Ternyata setelah pengobatan selesai ditemukan tidak hanya leukemia nya saja yang berhasil diobati, tetapi virus HIV di dalam tubuhnya juga berhasil dieliminasi. Kesembuhan di pasien yang diberi identitas “Berlin patient” ini memicu dokter melakukan tindakan yang sama untuk pasien lain. Sayangnya, tidak membuahkan hasil yang diharapkan sehingga saat itu mereka berpikir keberhasilan eliminasi virus HIV ini mungkin karena aggresif nya terapi yang diterima pasien saat itu, atau hanya keberuntungan semata.

Tahun 2016 kembali dilakukan transplantasi sumsum tulang untuk pasien Hodgkin’s lymphoma. Donor yang diterima juga memiliki mutasi protein CCR5, dan pasien juga menjalani terapi immunusuppresive, tetapi tidak seagresif pasien sebelumnya karena sudah mengikuti standard guideline baru yang lebih aman. Dan akhirnya, setelah 12 tahun berlalu, pasien yang diberi identitas “London patient” ini juga mengalami kesembuhan dari kanker dan sekaligus HIV yang dideritanya. Dokter menemukan kalau virus HIV hilang total “completely disappeared” dari dalam tubuhnya setelah menjalani transplantasi. Pasien juga stop mengkonsumsi obat antiretrovirus untuk HIV, dan 18 bulan setelah berhenti minum obatpun masih tidak ada tanda tanda virus HIV kembali di tubuhnya. Ini menjadikan ia sebagai pasien ke-2 yang dianggap bisa menyamai keberhasilan eliminasi jangka panjang virus HIV seperti kasus “Berlin patient” sebelumnya.


Protein CCR5 merupakan salah satu target untuk pengobatan HIV karena adanya defective di protein ini diduga bisa menghasilkan resistensi/kekebalan terhadap virus HIV. Sayangnya, virus HIV juga bisa menggunakan protein lain selain protein CCR5 untuk masuk dan replikasi dalam tubuh, sehingga trasnplantasi ini hanya terbatas untuk pasien dengan virus HIV yang diketahui masuk melalui protein CCR5 tersebut. Selain itu, tidak semua pasien HIV juga menderita kanker dan menjadi kandidat menerima transplantasi sumsum tulang. Masih banyak yang harus dipelajari, tapi yang pasti, keberhasilan ini menjadi langkah maju untuk terbukanya pengobatan yang lebih baik terhadap pasien HIV.

“This will inspire people that cure is not a dream. It is reachable”
~ Dr. Annemarie Wensing, a virologist at the University Medical Center Utrecht in the Netherlands.

References:
image: https://ja.wikipedia.org/wiki/CCR5



Monday, February 4, 2019

World Cancer Day

World Cancer Day – February 4, 2019
Hari ini tanggal 4 Februari ditetapkan sebagai hari kanker internasional.  Jadi  lagi lagi saya menulis tentang pentingnya pengetahuan tentang kanker. Pencegahan dan deteksi dini kanker akan sangat berpengaruh terhadap hasil pengobatan yang bisa dilakukan (がんの早期発見· がん検診)
Di Jepang sendiri ada lima jenis kanker yang dianjurkan oleh pemerintah untuk deteksi dini, karena dengan adanya deteksi dini angka kematian yang disebabkan oleh kanker tersebut berhasil diturunkan.  Kanker lambung (melalui barium swallow test atau endoskopi lambung), kanker paru (melalui x-ray paru dan test sputum), kanker usus besar/kanker colon (melalui stool test), kanker mulut rahim/cervix (melalui PAP smear), kanker payudara (melalui mammography maupun USG).
Untuk wanita, kanker payudara dan kanker mulut rahim, adalah dua jenis kanker yang harus kita beri perhatian lebih. Sudah pernah saya bahas di artikel sebelumnya, kasus kanker payudara mulai meningkat sejak usia 35 tahun ke atas dengan peak di usia 45-49 tahun.  Dari data National Cancer Center Jepang (NCC-国立がんセンター) dibandingkan tahun 2003, data tahun 2014 jumlah kasus meningkat tinggi (lihat gambar).  Banyak faktor yang mempengaruhi, yang jelas sampai saat ini kanker payudara masih menduduki peringkat pertama insidens kanker pada wanita.
Deteksi dini kanker payudara meliputi: periksa payudara sendiri (SADARI) dan cek teratur mammography atau USG. Sejak usia 40 tahun, mammografi dianjurkan dilakukan setiap 2 tahun sekali.  Kanker payudara yang ditemukan di stadium dini memiliki outcome yang cukup baik, survival rate bisa mencapai di atas 90%; tetapi pada stadium lanjut survival rate jatuh hingga hanya sekitar 26%.  
Kanker mulut rahim/kanker cervix juga termasuk kanker yang harus diwaspadai oleh wanita. Faktor risiko untuk kanker ini antara lain: wanita dengan riwayat hamil/ melahirkan lebih dari 3 kali (kebalikan dengan kanker payudara yang justru meningkat resikonya pada wanita yang belum pernah hamil/melahirkan), dan infeksi dari HPV (Human Papilloma Virus) yang bisa ditularkan melalui hubungan seksual. HPV ini ada “low-risk types” dan “high-risk types”.  High risk types ini yang dikaitkan erat sebagai penyebab kanker cervix. Saat ini HPV strain 16 dan 18 yang disinyalir sebagai penyebab dari 70% kasus kanker cervix sudah dimasukkan ke dalam vaksin HPV.  Penting untuk diingat, vaksin HPV tidak menggantikan posisi tes PAP smear. Vaksin HPV tidak memproteksi semua jenis strain virus yang mungkin bisa menyebabkan kanker cervix, sekaligus tidak menyembuhkan infeksi virus HPV tersebut. Periksa PAP smear rutin tetap dianjurkan untuk deteksi dini. Di sini test PAP smear sudah dianjurkan sejak usia 20 tahun ke atas, setiap 2 tahun sekali karena dianggap sudah masuk masa seksual aktif.  Berdasarkan data statistik, kasus kanker cervix sudah mulai meningkat pada usia 25-29 tahun (lihat gambar). 
Pengobatan kanker sendiri sudah banyak mengalami kemajuan pesat dibandingkan 10 tahun yang lalu misalnya. Tahun 2018 lalu, peraih Nobel di bidang kedokteran, Prof Tasuku Honjo (Kyoto University) dan James P Allison (MD Anderson Cancer Center) menemukan salah satu mekanisme yang menyebabkan sel imun di dalam tubuh tidak bisa mengenali dan membunuh sel kanker. Prof Tasuku Honjo ini menemukan PD-1 1, protein yang bertanggung jawab terhadal hal tersebut. Sedangkan rekannya dari Amerika, menemukan CLTA-4 yang mekanisme kerjanya mirip dengan PD-1. Berdasarkan penemuan ini, dibuat obat obat yang dikenal sebagai PD-1 inhibitor/PDL-1 inhibitor atau immune checkpoint inhibitor. Dengan memblokir protein tersebut, diharapkan sel imun kembali bisa berfungsi untuk membunuh sel kanker. Obat first line yang di-approved untuk dipakai secara klinis tahun 2014, namanya Opdivo (Nivolumab), ini yang banyak keluar dibahas di TV tahun lalu. Dengan adanya obat obat ini kita punya tambahan senjata baru dalam pengobatan kanker, meskipun belum bisa dipakai di semua jenios kanker. Banyak kasus kanker yang memiliki status negative untuk PDL-1 protein dan "low response" terhadap obat baru tersebut.

Masih banyak PR yang menanti untuk diselesaikan, dan salah satu peran aktif yang bisa kita lakukan tentu dengan memiliki kesadaran pentingnya cek dini untuk mendeteksi kanker. 
~World Cancer Day~
Supporting the fighters - Admiring the survivors – Honoring the taken – Never giving up hope

Breast Cancer Awareness


Breast Cancer Awareness

Breast Cancer Awareness month sebenarnya jatuh di  bulan Oktober, tapi izinkan saya ya menulis tema ini di awal tahun. Kenapa?  karena rasanya saya perlu mengingatkan kembali diri sendiri, dan teman teman semua akan pentingnya pengetahuan tentang kanker payudara.  Dua hari yang lalu, teman baik saya di tempat kerja menghampiri saya dan secara langsung memberitahu kalau ia positive ditemukan sel kanker payudara tepat di akhir Desember lalu.  Saya syok. Seorang teman yang seumuran saya, anak anaknya pun seangkatan dengan anak anak saya, kami hamil bareng, curhat bareng, kerja bareng, dan kami juga sama sama tahu apa itu “kanker”.  Ia bilang, penyakit yang ia anggap rasanya masih jauh dari dirinya, ternyata ada di hadapan matanya.  Kami nangis bareng, dan saya berjanji untuk mendukung dia di masa masa sulit ini.
Jadi saya memutuskan menulis artikel ini agar kita semua sadar akan pentingnya breast cancer awareness ini.  Saya akan ringkas dalam beberapa point saja supaya lebih mudah dibaca.

1.  Di wanita, kasus kanker terbanyak diduduki oleh kanker payudara.
Di Jepang disinyalir 1 diantara 12 wanita menderita kanker payudara.  Menurut data statistik, belakangan ini onset terjadinya kanker payudara mulai meningkat di pertengahan akhir usia 30an dengan peak di usia sekitar 40-44 tahun. Dengan mundurnya usia pernikahan, bisa dibayangkan kalau  banyak pasien kanker payudara adalah ibu ibu yang memiliki anak dengan usia relatif masih kecil.
2.  Meski menduduki kasus terbanyak, angka kematian karena kanker payudara kecil.

Angkat kematian karena kanker payudara justru menduduki nomor buncit, dibandingkan kanker usus besar, kanker paru, kanker lambung, atau kanker pancreas misalnya. Dengan kata lain, kanker payudara dikenal sebagai kanker yang prognosis atau survival rate nya cukup baik. Salah satu faktor utama kenapa kanker payudara bisa memiliki outcome yang cukup baik, karena ia termasuk kanker yang mudah dideteksi dini (early screening benefit). Bandingkan dengan kanker hati atau paru misalnya yang hampir tidak ada gejala awal yang jelas sehingga ketika didiagnosa, sudah terlambat masuk stadium lanjut.

3. Deteksi dini kanker payudara sangat penting untuk mendapatkan outcome yang baik.
Banyak pasien kanker payudara, termasuk teman saya ini, ketahuan tidak sengaja dari cek kesehatan rutin.  Untuk kanker payudara, cek rutin yang bisa dilakukan:
- SADARI (periksa payudara sendiri). Satu bulan sekali rutin periksa payudara sendiri. Biasanya lebih nyaman melakukan dalam waktu satu minggu setelah menstruasi selesai, saat jaringan payudara lunak. Cek depan cermin, apakah ada perubahan yang bisa dlihat seperti apa penonjolan, kulit payudara tertarik, atau apakah ada carian atau darah yang keluar dari putting susu. Raba payudara perlahan memutar dari kuadran sebelah dalam dekat puting hingga kuadran sebelah luar. Nodul kanker payudara banyak terjadi di sebelah luar atas payudara (lihat gambar).
資料:全国乳がん患者登録調査報告.第32号.2000


- Mammography dan USG
Mammography dan USG merupakan dua cara yang umum dipakai untuk pemeriksaan rutin kanker payudara.  Pada usia pre-menopause, karena jaringan payudara masih padat, permeriksaan dengan USG lebih sensitive dan mudah menemukan nodul.  Pemeriksaan USG juga tidak menggunakan x-ray sehingga dapat dilakukan pada ibu hamil atau menyusui. Pada usia post-menopause, mammografi tidak masalah. 
Baik mammography maupun USG tidak bisa secara pasti memastikan apakah nodul yang ditemukan kanker atau bukan. Jadi jika ada gambaran nodul yang dicurigai, akan dilakukan pemeriksaan lanjutan histopatologi dengan mengambil jaringan di tempat nodul tersebut.

4. Ada beberapa faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya kanker payudara pada seseorang.
Seperti halnya infeksi hepatitis virus B atau C yang beresiko memicu kanker hati, kanker payudara juga memiliki beberapa faktor resiko, antara lain:
- belum pernah hamil, atau melahirkan anak pertama di usia telat (diatas 30 thn)
- mengalami menstruasi pertama cepat (sebelum usia 12 tahun), dan usia menopause telat (diatas 55 tahun)
- menerima pengobatan berkaitan hormonal dalam jangka waktu yang lama
- keluarga dekat (nenek,ibu, kakak, adik) ada yang menderita kanker payudara atau kanker ovarium
- lifestyle habit: minum (alkohol) dalam jumlah cukup banyak, merokok, obesitas.

5.  Jika didiagnosa kanker payudara, apa yang harus diketahui dan dilakukan?
Bukan sesuatu yang gampang menerima diagnosa “kanker”.  Dukungan keluarga, dan sahabat di sekitar sangat penting.  Jangan ragu untuk meminta pertolongan atau berdiskusi dengan orang lain yang bisa dipercaya, termasuk dengan dokter yang menangani.  Beberapa point yang perlu diketahui misalnya: status kankernya (stadium), ukuran nodul, apakah ada penyebaran ke limpa, jenis kanker payudara dan subtype-nya (apakah responsive hormonal, HER2 positive, atau triple negative type, dsb), rencana penanganan yang dianjurkan, dsb.

Sebagai penutup, sekali lagi saya hanya mau mengingatkan kalau kanker payudara bisa kita waspadai dengan lebih baik melalui pemeriksaan rutin. Jadi, 乳がん検診を受けましょう!