Wednesday, May 19, 2010

In Loving Memory - Our Beloved Nephew


In Loving Memory - Ten 

Dear all, kali ini saya hanya ingin sharing peristiwa sedih yang baru baru ini saya alami sekaligus mendedikasikan tulisan ini untuk “Ten” keponakan, saudara, sahabat yang sangat kami kasihi.

Pertama kali mengenal Ten saat saya masih pacaran sama suami. Berhubung pacarannya pun jarak jauh, ya hanya kenal Ten juga dari nama saja. Ia keponakan tidak langsung suami saya (susah dijelaskan silsilahnya), usia Ten dengan saya tidak terlalu terpaut jauh. Aneh rasanya kalau saya dipanggil tante, pantas juga jadi teman soalnya. Saat itu suami cerita tentang Ten yang sedang berobat ke Jepang karena di usia yang masih muda ia di-diagnosa tumor di selaput otak, meningioma. Posisi tumor yang sulit dan peralatan di Jakarta yang belum memadai untuk pengobatan, maka ia kontak suami saya dan berobat ke Jepang. Rutin kontrol, berobat juga operasi dijalani untuk memberantas si tumor.

Kalau pas suami saya pulang balik ke Indonesia, saya biasanya ikut bertemu dengan Ten dan keluarganya. Ten anak bungsu, pria satu satunya dari 2 bersaudara. Meski harus bolak balik masuk RS, operasi, rehabilitasi dsb, tapi ia tetap berhasil menyelesaikan kuliahnya. Tidak tanggung tanggung, ia menyelesaikan kuliah kedokteran dan berhasil meraih gelar dokter dari universitas negeri terbaik di Jakarta pada awal tahun ini. Perjuangan yang sangat keras untuknya. Saya salut dengan ketegaran dan semangat Ten untuk bertahan hidup.

Sejauh saya mengenalnya, Ten anak yang baik, aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan ia selalu berusaha menyenangkan orang lain. Menjelang menikah saya pernah khusus belajar memasak dengan pembantu di keluarga mereka karena memang jago sekali masaknya, sementara saya ini ....jujur, tidak pernah pegang panci di dapur ^^. Pembantunya cerita, kalo Ten selalu menghargai masakannya. Terlihat dari ceritanya kalo sang pembantu pun sangat menyayangi Ten. Waktu kami menikah, ia jadi best man suami saya dan kedua orang tuanya menjadi saksi pernikahan kami. Kemudian saya ikut suami ke Jepang dan hanya sekali kali bertemu Ten kalo pas balik Indonesia atau kalau kebetulan mereka sekeluarga ke Jepang.

Bulan Maret lalu, Ten kembali datang ke Jepang untuk kembali operasi karena si tumor kembali membuat ulah. Mereka datang sekeluarga, sempat menginap semalam di rumah saya di Tokyo sebelum melanjutkan perjalanan ke Fukushima, untuk menjalankan operasi di sana. Kami sempat makan malam bersama juga, saat itu Ten tidak terlalu ada nafsu makan. Waktu saya tanya, dia bilang justru waktu sore dia sempat makan banyak di rumah saya, makan sup sosis buatan saya. Buatan tante itu yang enak katanya. Saya langsung senang banget dengernya dan suami saya bilang.. ..wah Ten kamu pinter, memang dia ini (sambil menunjuk saya) yang harus diambil hatinya, segala urusan di sini bisa lancar deh. Kami tertawa lepas saat itu.

Operasi kali ini direncanakan 2 kali, operasi pertama untuk memastikan posisi, memastikan stadium tumor yang diperkirakan berubah dari diagnosa sebelumnya dan untuk sekaligus menentukan langkah yang harus diambil berikutnya, sedangkan operasi kedua untuk tindakan lebih radikal berupaya memberantas si tumor. Operasi pertama pada awal bulan Maret berlangsung selama 13 jam dan sukses. Ten menjalani rehabilitasi sambil dokter mempersiapkan dan mengatur strategi untuk operasi kedua. Setelah kurang lebih satu bulan sejak operasi pertama, 12 April kemarin dilaksanakan operasi yang kedua. Operasi berlangsung sekitar 21 jam, dan tujuan utama operasi untuk memberantas si tumor juga tercapai.

Tapi ternyata, manusia memang boleh berencana …Tuhan yang menentukan. Di luar dugaan terjadi komplikasi pasca operasi. Suplai darah ke otak terganggu dan berakibat terjadinya cedera otak yang luas. Keadaan Ten menjadi kritis dan ia terbaring koma di ICU. Mendengar kondisi Ten yang kritis, suami saya segera berangkat ke Fukushima, meninggalkan pekerjaannya. Saya ingin sekali ikut, tapi terbentur kondisi saya yang saat ini tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh.

Berada di negara orang, dengan bahasa yang Jepang yang terbatas, ditambah dengan kondisi kritis seperti ini sungguh merupakan cobaan berat untuk kedua orang tuanya. Saya dan suami juga sangat amat sedih karena merasa tidak bisa membantu maksimal, lokasi tempat tinggal yang berjauhan dan kerjaan menyebabkan suami juga tidak bisa terus menerus berada di Fukushima. Harapan hidup Ten yang dinyatakan hampir tidak ada oleh dokter membuat kami semua harus mempersiapkan kemungkinan terburuk. Gereja setempat dihubungi, teks funeral mass dalam bahasa Inggris pun dicari agar keluarganya bisa mengikuti, segala macam prosedur tata cara pengiriman jenazah kembali ke Indonesia pun dicari dsb. Berat rasanya, setiap bertelpon dengan suami untuk mengikuti perkembangan berita dari sana, saya selalu menangis, tidak tega rasanya membayangkan sosok Ten yang masih segar saat terakhir bertemu.

Sebulan sudah sejak Ten operasi, belum sekalipun ia terbangun dari tidurnya. Ventilator dan berbagai selang penunjang kehidupan bertebaran di sekeliling tubuhnya. Hanya doa, doa dan doa yang bisa kami panjatkan, memohon setitik harapan agar Tuhan memberikan mukzizatnya kepada Ten. Ia masih begitu muda, perjalanan hidupnya masih panjang, sejuta kesempatan masih menunggu dirinya untuk kembali. Membaca ucapan teman temannya di Facebook miliknya yang meminta Ten untuk berjuang dan bangun dari tidur panjangnya membuat saya tambah miris, betapa semua orang mencintai ia, berharap ia bisa berkumpul kembali dengan semuanya.

Rencananya akhir minggu ini akan mengurus perpanjangan visa untuk Ten karena batas masa visanya hampir habis. Tapi ternyata, Ten sepertinya sudah tidak ingin diperpanjang masa tinggalnya di Jepang. Selasa malam kondisinya menurun, dan Rabu 19 Mei dini hari kabar duka dari papanya pun kami terima. Tidak ada kata kata lagi yang bisa kami ucapkan, hanya lelehan air mata yang keluar tanpa suara. Suami saya langsung berangkat lagi menemui orang tuanya untuk membantu pengurusan pengembalian jenazah ke Indonesia.

Selamat jalan Ten! Langitpun berduka ketika engkau pergi. Cuaca di Tokyo yang sebelumnya diramalkan cerah berawan menjadi mendung sejak pagi, angin kencang disertai gerimis hujan yang semakin lebat. Bulan Juni nanti engkau akan merayakan ulang tahun mu yang ke-26 bersama para malaikat dan Bapa di surga.

Jadi dokter yang baik ya Ten di surga, salam untuk uma dan engkong di sana. You will always be in our hearts!

“Ashes to ashes, dust to dust. Tuhan engkaulah empunya kehidupan, dari Engkau kami berasal dan padaMu jualah kami kembali”.

Love from Tokyo,

Kathryn