ANTIMICROBIAL RESISTANCE
Teman-teman pernah dengar istilah AMR? AMR singkatan dari Antimicrobial
Resistance atau bahasa Indonesia-nya, resistensi antimikroba.
Apa sih AMR ini?
Seusai namanya, AMR merupakan istilah medis yang diberikan untuk
menggambarkan situasi adanya mikroorganisme pathogen yang resisten, alias kebal
terhadap obat antimikroba. Akibatnya, obat-obat antimikroba yang biasa dipakai
untuk mengobati penyakit infeksi menjadi tidak efektif.
Apakah AMR berbahaya?
Tentu!
AMR adalah ancaman kesehatan global yang penting ketika bakteri, jamur, parasit
berevolusi menjadi resisten terhadap obat-obat antimikroba (termasuk antibiotik,
antivirus, anti jamur, antiparasit).
Kemunculan dan penyebaran dengan cepat bakteri, virus, dsb yang resisten
terhadap obat-obat yang kita punya akan mengancam kemampuan kita untuk
mengobati penyakit infeksi yang biasanya mudah ditangani. Akibatnya, orang
beresiko meninggal hanya karena terkena infeksi yang sebenarnya sangat mudah
diobati jika tidak terjadi resistensi obat.
Apakah sudah ada kejadian terkait AMR?
Sudah cukup banyak dan laporan kasus terus meningkat.
Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) tahun 2022
melaporkan tingkat resistensi yang mengkhawatirkan di antara bakteri pathogen umum.
Tingkat rata-rata yang dilaporkan di 76 negara sebesar 42% untuk E. coli yang
resisten terhadap antibiotik cephalosporins generasi ketiga, dan 35% untuk Staphylococcus
aureus yang resisten terhadap methicillin (MRSA). Untuk infeksi saluran kemih
yang disebabkan oleh E. coli, 1 dari 5 kasus menunjukkan penurunan respon
terhadap antibiotik standar seperti ampicillin, co-trimoxazole, dan
fluoroquinolones pada tahun 2020. Hal ini mempersulit pengobatan infeksi umum
secara efektif.
Beberapa tahun silam, saya pernah menulis kisah nyata seorang
remaja putri berusia 17 tahun, bernama Rebecca Lohsen.
Rebecca mengeluh sakit tenggorokan setelah pulang berlibur bersama keluarganya.
Sakitnya tidak dirasakan berat, ia bahkan masih bisa berpergian ke mall. Baru
beberapa hari kemudian kondisinya mulai menurun, ada demam tinggi, lemas, dan
mengeluh ada back pain.
Setelah beberapa kali ke dokter akhirnya Rebecca didiagnosis radang paru (pneumonia)
dan harus segera masuk RS. Setelah dirawat di RS selama 2 hari, diketahui kalau
radang parunya disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus yang sudah resisten
terhadap methicillin - MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus).
MRSA adalah golongan bakteri yang sudah berevolusi dan memiliki resistensi
terhadap berbagai antibiotik umum, termasuk golongan penicillins (methicillin,
dicloxacillin, nafcillin, dsb) dan golongan cephalosporins. Otomatis hal ini
mengakibatkan golongan bakteri MRSA ini lebih susah untuk diobati dengan
standard antibiotik biasa.
Setelah mengetahui penyebabnya, dokter masih menenangkan orang tua Rebecca.
Mereka masih menaruh kepercayaan dengan ilmu kedokteran yang sudah maju, dan
tentu antibiotik yang tepat bisa digunakan untuk melawan MRSA tersebut.
Sayangnya kenyataan berbicara lain.
Hasil scan menunjukkan kondisi paru-parunya terus memburuk, tidak ada perbaikan
sehingga bahkan harus dimasukkan tube ke dalam tenggorokannya untuk membantunya
bernafas. Dokter yang menangani menyerah, tidak bisa lagi menaikkan kadar
oksigen dalam tubuhnya. Kondisi dan kesadarannya terus menurun sehingga berada
dalam keadaan koma.
Pelajar putri yang sebelumnya sehat, “an honor student”, dan juga jago berenang
ini tiba tiba harus bergantung pada alat-alat bantu penunjang kehidupan yang
dipasang di sekujur tubuhnya.
Empat bulan setelah berjuang melawan penyakitnya di RS, Rebecca Lohsen,
meninggal dunia. Ibunya yang juga seorang perawat, antara percaya dan tidak
menyaksikan hidup putrinya direngut oleh bakteri yang selama ini dianggap sudah
bisa ditaklukan oleh obat obatan modern. “Nearly 4 months after she mentioned that sore throat, she
died”.
(Kisah Rebecca diangkat di lecture tentang “Drug Resistance” dari The Pennsylvania
State University. Kisah nyata lainnya bisa dibaca dari referensi no.2)
Apakah ada yang bisa kita lakukan untuk mengatasi AMR?
Selain berbagai usaha dari sisi riset kedokteran untuk menemukan obat-obat
antimikroba baru yang bisa mengatasi AMR, kita semua, masyarakat umum juga harus
mulai menyadari tentang bahaya AMR.
- Jaga kebersihan dan kesehatan diri sehingga dapat menghindari infeksi
berulang yang mengakibatkan pemakaian berbagai obat antimikroba berulang kali.
- Ikuti vaksinasi wajib dasar!
Tuberculosis/TB (vaksin BCG), Diphteria, Pertusis,
Tetanus (vaksin DPT) merupakan penyakit-penyakit infeksi parah yang sudah bisa
dicegah melalui vaksinasi. Perlu diketahui, saat ini resistensi obat terhadap
TB juga meningkat pesat dan sudah menjadi masalah global baru.
- Gunakan antibiotik dan obat-obat antimikroba lainnya secara bijaksana dan
tepat. Gunakan pada penyakit yang cocok dan minum obat sesuai instruksi hingga
selesai. Penggunaan obat yang tidak tepat sangat berkontribusi pada timbulnya
AMR.
--
Teman-teman pasti sudah banyak yang tahu ya komik manga “Hataraku Saibo; はたらく細胞” (Cells
at Work)
Mereka bekerja sama dengan pemerintah (MHLW) untuk membantu meningkatkan
kesadaran publik tentang resistensi antimikroba. Poster yang menampilkan
karakter dari manga tersebut juga didistribusikan ke berbagai tempat terkait
seperti RS, apotek, dsb di seluruh Jepang pada bulan November karena bulan ini
sudah ditetapkan sebagai Bulan Promosi Penanggulangan AMR.
Semoga kita semua bisa lebih mengerti tentang AMR dan bisa mulai berpartisipasi
mencegah meluasnya AMR. Demi melindungi anak-anak kita juga, generasi mendatang,
yang akan menghadapi kesulitan besar jika AMR terus meningkat.
Salam sehat,
Tokyo, 24 November 2024
#kesehatanwibj
Referensi:
1. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/antimicrobial-resistance
2. https://www.idsociety.org/public-health/patient-stories/patient-stories/
3. https://www.cdc.gov/antimicrobial-resistance/prevention/index.html
4. https://amr.ncgm.go.jp/information/campaign2024.html
5. https://news.yahoo.co.jp/articles/3fbea4412551b864cf5fa2bc423d7845cf0bc954