Great Moral Dilemma: The Use of Embryonic Stem Cell
Beberapa hari lalu saya menghadiri seminar tentang moral etik penggunaan embryonic stem cell. Di artikel ini saya tidak bermaksud membenarkan, menolak ataupun memperpanjang polemik tentang penggunaan stem cell tersebut, hanya mencoba membahas dua sisi dari penggunaan embryonic stem cell secara medis. Semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita.
What is human embryonic stem cell?
Sel disebut memiliki karakteristik stem cell (stemness) jika memiliki: kemampuan untuk me-regenerasi dirinya sendiri (self renewal), dan memiliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi sel sel lain yang mempunyai fungsi lebih khusus (totipotent atau pluripotent).
Embryonic stem cell merupakan stem cell yang berasal dari sel embryo sisa hasil pembuahan di laboratorium (In Vitro Fertilization/IVF), dimana inner cell mass (ICM) dari embryo berusia 4-6 hari diambil dan dikembangbiakkan di laboratorium.
Embryonic stem cell ini memiliki potensi yang sangat besar karena mereka bisa berkembang menjadi sel atau organ tubuh apapun. Tapi satu yang perlu diperhatikan, sampai saat ini hasil biakan di laboratorium tersebut tidak bisa menjadi manusia, selain karena embryo tersebut sudah tidak lengkap (hanya diambil inner cell mass-nya) juga karena tidak pernah diimplant kembali ke dalam rahim dimana pertumbuhan embryo menjadi manusia membutuhkan interaksi kompleks lingkungan yang mendukung dan sampai saat ini hanya bisa disediakan oleh rahim ibu. Tujuan dari penggunaan embryos disini murni untuk pengobatan (therapeutic cloning).
Sebenarnya selain dari embryo, stem cell juga bisa ditemukan di plasenta terutama sebagai sumber dari blood stem cell yang bisa berguna untuk mengobati penyakit penyaki kelainan darah termasuk kanker (leukemia) tetapi sayang jumlahnya terbatas sehingga tranplantasi hanya bisa dilakukan untuk anak anak.
Salah satu keberhasilan penggunaan stem cell dari plasenta ini dipresentasikan melalui kisah nyata tentang Molly Nash, gadis kecil dari Colorado yang dilahirkan dengan penyakit genetik kelainan darah (Fanconi’s anemia) dimana sebagian besar penderitanya meninggal karena leukemia sebelum mencapai usia dewasa. Satu satunya pengobatan yang bisa dilakukan melalui transplantasi sumsum tulang belakang dari donor yang sehat dengan genetik yang cocok dengan penderita. Sayangnya, Molly adalah anak tunggal dan kedua orang tuanya adalah pembawa (carrier) dari penyakit tersebut sehingga mereka pun takut untuk kembali mempunyai anak bila kelak harus menderita penyakit itu lagi. Akhirnya orang tua Molly menggunakan sistem pembuahan di laboratorium (IVF) dan melakukan preimplantation genetic diagnosis (PGD), 24 buah embryo dibuat di laboratorium dan akhirnya setelah melalui screening, ditemukan satu satunya embryo yang bebas dari penyakit. Embryo ini ditanamkan kembali ke ibunya Molly dan akhirnya lahirlah adik laki laki Molly yang sehat. Stem cell dari plasenta si adik diambil dan di transplantasi ke Molly. Saat cerita itu dipublikasikan di buku yang saya baca (2006) Molly sudah berusia 11 tahun, sehat dan sudah terbebas dari penyakitnya.
(http://www.stemcelldilemma.com/mollynash.html)
The Future of Medicine
Keberhasilan transplantasi stem cell seperti kisah Molly di atas membuat para ahli dan juga pasien pasien yang menderita penyakit yang selama ini sulit disembuhkan berharap banyak dari riset embryonic stem cell. Apalagi hasil riset laboratorium terhadap stem cell selama ini memberikan hasil yang cukup menjanjikan. Beberapa terapi yang diharapkan bisa memanfaatkan potensi stem cell antara lain:
1. menangani pasien pasien dengan kegagalan fungsi organ tubuh seperti jantung, paru paru atau liver. Salah satu riset dari biotechnology company, Advance Cell Technologies, menemukan bahwa tranplantasi stem cell di jantung tikus yang rusak bisa memperbaiki jaringan rusak sebanyak hampir 40% hanya dalam waktu 1 bulan. Tidak hanya itu, sel transplant tersebut juga membentuk jaringan baru dengan sistem perdarahan arteri dan kapiler yang baru.
2. menangani pasien pasien dengan kerusakan saraf, misalnya pada kecelakan yang mencederai saraf belakang sehingga pasien lumpuh (seperti yang dialami oleh alm. Christopher Reeve, actor pemeran Superman), atau pada penyakit Parkinson (diderita oleh mantan petinju, Muhammad Ali serta alm. Paus Yohanes Paulus II) dan Alzheimer (diderita oleh mantan presiden Amerika, alm. Ronald Reagan) Neuroscientists dari Universitas California-Irvine (UCI) yang mengembangbiakkan sel sel saraf dari embryonic stem cell, menemukan bahwa transplantasi dari sel sel saraf tersebut ke tikus yang mengalami kesulitan berjalan karena kerusakan saraf tulang belakang, ternyata bisa membuat tikus tersebut kembali berjalan normal hanya dalam waktu 2 bulan setelah terapi.
3. menangani pasien dengan penyakit autoimun, penyakit yang diturunkan secara genetik seperti juvenile diabetes dsb. Juga menangani pasien dengan kelainan darah, seperti kasus Molly di atas.
Protect the embryo
Terlepas dari keberhasilan pengobatan yang menjanjikan dari stem cell tersebut, penggunaan embryo sebagai sumber riset, menjadi perdebatan sendiri yang seperti tidak ada penyelesaiannya. Perdebatan ini terutama mengarah pada moral status si embryo, apakah hanya dianggap sebagai objek, sebagai manusia atau “sesuatu” di antara keduanya.
Golongan yang berpendapat bahwa embryo tidak boleh digunakan dalam riset sama sekali antara lain beralasan sebagai berikut:
- embryo adalah juga adalah manusia, anggota hidup dari species Homo sapiens yang sedang berada pada stage awal pertumbuhannya. (Robert P.George - political scientist; Alfonso Gomez Lobo - philosopher)
- embryo adalah rekan kita sendiri yang kebetulan sedang berada pada posisi lemah dan tidak menguntungkan (Gilbert Meilander - Lutheran theologian and the member of the president’s council)
- penggunaan embryo dalam riset juga merupakan tindak kekerasan terhadap kehidupan manusia (Orthodox Christian, Methodist churches)
- kehidupan sudah dimulai sejak ovum dibuahi, manusia baru dengan kehidupan baru dan sudah sepantasnya hak hidup sebagai manusia harus dihargai (Vatican, Catholic church).
Selain dari sisi agama, issue penggunaan embryonic stem cell ini pun melibatkan perdebatan politik yang tidak kalah serunya. Dalam konfrensi pers April 2001, presiden Bush secara tegas mendukung hukum yang melarang percobaan apapun yang melibatkan penggunaan embryonic stem cell ini. Sementara itu di lain pihak, anggota senat yang mendukung riset stem cell menyatakan bahwa; “stem cell research isn’t just a matter of faith, it’s a fact of science” (Bill Frist, Senate Republican leader). Bahkan, senator John Kerry yang Katolik sempat mengatakan jika ia terpilih ia akan menghapus larangan dan justru membantu dana untuk riset stem cell tersebut, “Patients and their families should no longer be denied the hope that this new research brings”.
Use the embryo
Masih segar dalam ingatan, bagaimana Nancy Reagan yang begitu mencintai suaminya frustasi menghadapi ketidakjelasan sikap dari gedung putih terhadap riset stem cell ini hingga akhirnya sang suami, Ronald Reagan meninggal setelah pertarungan panjang dengan penyakit Alzheimer yang dideritanya tanpa sempat mencoba transplantasi stem cell tersebut.
Tidak heran golongan yang mendukung penggunaan embryo ini kebanyakan adalah scientist, dokter, pasien pasien dan juga keluarganya yang ikut merasakan penderitaan akibat penyakit yang diderita.
Salah satu alasan yang dikemukakan golongan ini, adalah kita harus menaruh respek terhadap pasien yang sedang tidak berdaya sakit di atas respek terhadap embryo. Mengapa kita harus membiarkan pasien (yang jelas jelas adalah manusia) yang sedang membutuhkan pertolongan hanya untuk melindungi embryo yang bahkan jika kembali di implantasi ke dalam rahim masih belum pasti bisa sukses dilahirkan sebagai manusia (James Petersen – Professor of ethics and theology). Ia mengatakan lebih lanjut: “We should not kill people to benefit others, but we should also not let people die to protect human tissue such as sperm or ova, even though such gametes have great potential”.
Perdebatan ini memang masih terus berlanjut entah sampai kapan, tapi ada satu pandangan bagus yang diungkapkan oleh Gaymon Bennet, seorang Lutheran theologians, “We must realize we won’t always have a perfect match of scientific and ethical truth”.
Salam sehat,
Kathryn-Tokyo
Sumber:
- Image: NCBI
- STEM CELL NOW – Christopher Thomas Scott (Executive Director, Stem Cells in Society Program, Stanford University)
- Bioethics Lecture: The Use of Stem Cell in Regenerative Medicine – Professor Hideyuki Okano (Neuroscientist, Keio University School of Medicine)
hI,,
ReplyDeleteSaya Byan dari INA..
saya pengen tanya tentang konsep stem cell secara jelas,,
apa bisa stem cell diaplikasikan pada sistim saraf??
trimakasih,,
mohon commetnya di balas ke email saya..
byandalamberita@gmail.com
Hi Byan, nanti begitu luang akan saya langsung bales ke mail mu ya.
ReplyDeleteThanks sudah mampir :)