Cancer
Development and Targeted Cancer Therapy
Belum
lama ini di facebook ikutan komentar tentang cerita mayat yang dipakai praktik
anatomi anak kedokteran, berlanjut jadi menyinggung “unspoken stories” saat
belajar anatomi atau forensik dulu. Saya juga jadi teringat pengalaman dan
cerita aneh aneh saat tugas di RS, dari AC yang mati hidup sendiri pas lagi
istirahat jaga malam atau kisah residen forensik yang katanya ditelpon langsung
sama “pasiennya” membantu memberikan petunjuk supaya mudah diindentifikasi. Artikel
ini berniat membicarakan hantu juga, tapi bukan hantu gentayangan di RS melainkan
tentang “hantu” yang menurut saya masih jadi momok penyakit paling menakutkan di
dunia medis.
Kali
ini sedikit cerita tentang “kanker”, si hantu paling menakutkan di dunia
kedokteran. Saya yakin hampir semua orang pasti tidak mau ketemu atau berurusan
dengan hantu yang satu ini. Tidak hanya pasiennya lho, dokternyapun stress
kalau ketemu hantu yang satu ini. Bayangkan… setelah melalui serangkaian
pemeriksaan panjang, saat pasien harus menunggu dengan perasaan galau tidak
jelas, pas ketemu dokternya bukannya lega yang didapat …justru sebaliknya, si
dokter malah jadi seperti malaikat pembawa vonis mati. Saya pernah membantu
jadi penterjemah untuk pasien kanker dari Indonesia. Pasien datang ke Jepang
dengan harapan bisa dioperasi angkat tumornya, apalagi kondisi kesehatan keseluruhan
juga masih baik. Tapi setelah melalui berbagai pemeriksaan yang lebih detil di
sini, ternyata ditemukan sudah ada (mikro) metastasis, yang berarti sudah ada
titik titik penyebaran tumor meski belum kelihatan gejalanya. Hal ini
mengindikasikan stadium tumor sudah lanjut sehingga dokter di Jepang akhirnya memutuskan
kalau tindakan operasi tidak efektif dan sebaliknya pasien pulang ke Indonesia
untuk menjalani chemotherapy. Saat menjelaskan ke pasien, dokternya kelihatan
hati hati sekali memilih kata kata yang baik untuk tidak membuat pasien “down”
seketika. Saat itu saya juga sempat bingung, tidak tahu harus ngomong terjemahin
apa ke pasiennnya. Cukup lama juga saat itu saya berusaha cari padanan kata
kata yang tepat, tidak bohong tapi juga tidak “membunuh” seketika harapan
pasien.
Sebenarnya
bagaimana sih terjadinya kanker?
Sementara
ini ada dua konsep dasar tentang terjadinya kanker, konsep klasik (classical
stochastic model) dan konsep hirarki stem cell (cancer stem cell model). Pada
model klasik, setiap sel di tubuh dianggap punya kemampuan/potensi untuk
berubah menjadi sel kanker. Sebaliknya, pada konsep model stem cell, hanya
populasi sel tertentu yang punya potensi untuk berubah jadi sel kanker.
Kumpulan populasi sel khusus yang bisa berubah ganas inilah yang sering disebut
cancer stem cells (CSCs) atau “tumor-initiating cells” Untuk lebih jelasnya
bisa dilihat di gambar. Selanjutnya kedua konsep ini juga berkembang dan bisa
dikombinasi satu sama lain, ada “dynamic stemness model” atau “combination of
CSC and stochastic model”. Faktor lingkungan di sekitar sel (niche factors)
seperti adanya inflamasi, hypoxia, virus, dan sebagainya disinyalir bisa
menginduksi perubahan sel biasa menjadi sel dengan kemampuan stem cell
(stemness acquired) dan berubah menjadi CSCs.
Apa implikasi
dari konsep terjadinya kanker tersebut?
Implikasi
utamanya ke pengobatan kanker. Tentu semua sudah tahu pengobatan konvensional
untuk tumor seperti chemotherapy dan radiotherapy sering bermasalah karena
tidak hanya membunuh sel kankernya tapi juga seluruh sel sel tubuh lain yang
sebenarnya masih sehat. Selain itu kemungkinan kanker relapse atau muncul kembali
setelah pengobatan selesai juga cukup tinggi. Hal ini diduga karena adanya CSCs
yang biasanya punya kemampuan self-renewal yang tinggi, dan lebih resisten
terhadap pengobatan konvensional sehingga memicu kembali tumbuhnya sel kanker. Populasi
CSCs inilah yang menjadi sasaran target riset kanker belakangan ini (CSCs
targeted therapy). Berdasarkan riset, CSCs memiliki karakteristik khusus yang
bisa dijadikan petunjuk untuk mendeteksi langsung keberadaan populasi CSCs
tersebut sehingga mudah dijadikan target pengobatan. Saat ini banyak hasil
penelitian in vitro (laboratorium) menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan. Semoga
saja bisa ada hasil signifikan yang bisa segera diaplikasikan ke tahap klinis.
Apa perkembangan
pengobatan kanker saat ini?
Saat
ini salah satu strategi pengobatan adalah berusaha untuk merusak kondisi optimal
yang dibutuhkan oleh sel kanker dan atau populasi CSCs untuk berkembang (attack
the CSCs niche). Mekanisme molecular yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel
kanker, seperti supplai makanan dari darah, growth factor, dan sebagainya berusaha
dihambat sehingga menginduksi kematian sel kanker (apoptosis). Mekanisme molekular
yang terlibat dalam pembentukan kanker biasanya spesifik berdasarkan jenis
organ yang terkena sehingga pengobatan juga bisa lebih spesifik dan lebih tepat
guna (signaling pathway/molecular-targeted therapy).
Dari
strategi tepat guna ini ada beberapa obat kanker yang sudah lahir dan
memberikan respon yang positif. Diantaranya:
*
Imatinib (Gleevec) menjadi “first line treatment” untuk chronic myelogeneous
leukemia (CML) pada anak anak dan dan dewasa. Imatinib juga dipakai dalam
pengobatan gastrointestinal stromal tumor (GIST). Obat ini berupa tablet minum oral
sehingga pasien tidak perlu tinggal di RS dan bisa tetap menjalankan aktivitas
sehari hari. Sang penemu Imatinib, Dr Brian Druker, dianugerahi Keio Medial
Science Prize (2007), Lasker Award (2009), dan Japan Prize (2012). Saya sempat
menghadiri lecture dari Dr Brian sewaktu beliau datang untuk menerima
penghargaan Keio Prize.
*
Trantuzumab (Herceptin) untuk pengobatan kanker payudara. Di kanker payudara
ditemukan ekspresi berlebihan dari protein yang menstimulasi pertumbuhan sel,
dikenal dengan nama HER2 (human epidermal growth factor receptor 2). Kanker
payudara dengan HER2 positif biasanya prognosisnya buruk. Salah satu mekanisme
kerja herceptin dengan cara menstimulasi sel imun menuju tempat dimana banyak
terdapat HER2 positif sel kanker sehingga sel kanker bisa dibunuh. Herceptin dikatakan
secara signifikan memperbaiki prognosis pasien kanker payudara.
*
Gefitinib (Iressa) dan erlotinib untuk kanker paru paru jenis non-small cell
(NSCLC), tipe sel yang umum ditemukan di kanker paru paru. Gefitinib bekerja
sebagai selektif inhibitor dari protein yang berfungsi sebagai stimulator
pertumbuhan sel (EGFR inhibitor). Gefitinib diberikan dalam bentuk obat oral.
*
Sorafenib (Nexavar) untuk kanker ginjal (renal cell carcinoma, RCC) dan kanker hati
(hepatocellular carcinoma, HCC). Sorafenib bekerja sebagai inhibitor yang menghambat
sinyal mekanisme kerja protein untuk proliferasi sel dan pertumbuhan pembuluh
darah baru (multikinase inhibitor). Hal ini bisa mengakibatkan terhambatnya
perkembangan dan penyebaran sel kanker. Saat ini sorafenib menjadi “first line
drug treatment” untuk diberikan pada pasien kanker hati yang tidak memenuhi kriteria
untuk menjalani operasi (surgical resection or liver transplantation). Sorafenib
hadir dalam bentuk tablet minum 200 mg.
Meski
obat obat di atas memberikan harapan baru untuk penderita kanker, masih banyak
riset lanjutan yang dibutuhkan untuk mencari alternatif pengobatan lain yang tidak
hanya lebih terjangkau harganya, tetapi juga lebih efektif dan potent mengatasi
sel kanker.
Belakangan
kanker banyak ditemukan pada pasien usia muda. Di luar faktor genetik keluarga,
perubahan gaya hidup modern juga disinyalir menjadi salah satu pemicu timbulnya
kanker di usia muda. Konsumsi alkohol merupakan salah satu faktor kuat yang
berhubungan dengan terjadinya kanker hati, kanker esophagus, kanker di daerah
kepala dan leher (termasuk lidah, faring, pita suara). Di dalam hati senyawa
etanol dalam alkohol akan diubah menjadi senyawa lain yang bersifat toxic.
Senyawa toxic ini akan mengaktivasi, menarik protein lain yang berhubungan dengan
inflamasi dan lambat laun mengganggu mekanisme kerja normal dari protein
protein tersebut. Akhirnya terjadi kerusakan organ dan risiko timbulnya kanker
hati juga meningkat.
(figure: diffuse type liver cancer)
Sayangnya,
banyak anak muda zaman sekarang yang merasa kalau bisa menikmati minuman
beralkohol akan meningkatkan gengsi, dan lebih gaul katanya. Padahal kelak nanti
mereka berkeluarga, saat punya anak masih kecil, saat kehadiran mereka
dibutuhkan oleh keluarganya justru saat itulah mereka harus menuai akibat dari konsumsi
alkohol berlebihan. Saya pribadi menghormati pilihan tiap orang, terserah
masing masing individu. Tapi saya berharap mereka yang masih muda bisa memilih
dilandasi pengetahuan yang benar, bukan asal demi gengsi pergaulan semata.
It is health
that is real wealth ~
Mahatma Gandhi
“May
all of us enjoy the blessing of health”
Salam
sehat,
Kathryn
- Tokyo
References:
- Complexity of cancer stem
cell; Eiji Sugihara and Hideyuki Saya (Int.J.Cancer 2012)
- Imatinib: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/meds/a606018.html
- Trastuzumab: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3376449/
- Gefitinib: http://www.medicinenet.com/gefitinib/article.htm
- Sorafenib: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/meds/a607051.html
- Alcohol and cancer:
- Classification of Primary
Liver Cancer (Liver Cancer Study Group of Japan)