Drug Resistant Bacteria
(you may die only from a sore throat)
Bulan
April tahun 2006, seorang pelajar putri berusia 17 tahun mengeluh sakit
tenggorokan setelah pulang berlibur bersama keluarganya. Sakitnya tidak dirasakan
berat, ia bahkan masih bisa berpergian ke mall. Baru beberapa hari kemudian
kondisinya mulai menurun, ada demam tinggi, lemas, ada keluhan “back pain”.
Setelah beberapa kali ke dokter akhirnya si remaja putri didiagnosis “pneumonia” (radang paru)
dan harus segera masuk RS. Setelah dirawat di RS selama 2 hari, diketahui kalau radang parunya disebabkan oleh MRSA (Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus). Ini adalah golongan bakteri yang sudah ber-evolusi melalui
seleksi alamiah, dan berakibat si bakteri memiliki resistensi terhadap berbagai
antibiotik termasuk golongan penicillins (methicillin, dicloxacillin,
nafcillin, etc) dan golongan cephalosporins. Otomatis hal ini mengakibatkan golongan
bakteri MRSA ini lebih susah untuk diobati dengan standard antibiotik biasa.
Setelah
mengetahui penyakitnya, dokterpun menenangkan orang tua sang pelajar putri. Mereka
masih menaruh kepercayaan dengan ilmu kedokteran yang sudah maju, dan tentu antibiotik
yang tepat bisa digunakan untuk melawan MRSA tersebut. Sayangnya kenyataan
berbicara lain. Hasil scan menunjukkan
kondisi paru parunya terus memburuk, tidak ada perbaikan sehingga bahkan harus
dimasukkan tube ke dalam tenggorokannya untuk membantunya bernafas. Dokter yang
menangani menyerah, tidak bisa lagi menaikkan kadar oksigen dalam tubuhnya dan ia dirujuk ke RS yang lebih besar. Sementara itu, kondisi dan kesadarannya terus menurun sehingga berada
dalam keadaan koma. Si pelajar putri yang sebelumnya sehat, “an honor student”,
dan juga jago berenang ini tiba tiba harus bergantung pada alat alat bantu
penunjang kehidupan yang dipasang di sekujur tubuhnya. Akhirnya 4 bulan setelah
berjuang melawan penyakitnya di RS, Rebecca Lohsen, meninggal dunia. Ibunya
yang juga seorang perawat, antara percaya dan tidak menyaksikan hidup putrinya
direngut oleh bakteri yang selama ini dianggap sudah bisa ditaklukan oleh obat
obatan modern.
“Nearly 4 months after she mentioned that sore
throat, she died”.
Kisah
selengkapnya bisa dibaca disini:
http://www.idsociety.org/Templates/nonavigation.aspx?Pageid=12884901901&id=32212257007
Kasus
lain dilaporkan pada tahun 2009 di journal Clinical Infectious Diseases. Sebuah
RS di New York melaporkan kasus infeksi yang disebabkan oleh bakteri Klebsiella
pneumonia. Sebenarnya ini bakteri ini umum jadi penyebab infeksi nosocomial di
RS, sayangnya kali ini si bakteri memiliki resistensi terhadap semua antiobiotik
yang biasanya digunakan terhadap bakteri tersebut. Dokter di RS tersebut
menyebut bakteri ini sebagai “panresistant K. pneumonia”. Akhirnya dokter di RS
tersebut mendeskripsikan penyebab kematian dari pria berusia 67 tahun yang
dirawat di sana sebagai akibat dari panresistant klebsiella dan mereka mengakui
mereka tidak punya pengobatan efektif yang bisa digunakan.
Berikut
kutipan dari journalnya:
“It is a rarity for a physician in the
developed world to have a patient die of an overwhelming infection for which
there are no therapeutic options. These cases were the first instance in our
clinical experience in which we had no effective treatment to offer. Trends in
urban hospitals are often the harbinger of the future. We share these cases to
highlight some troubling issues that soon may be relevant to increasing numbers
of physicians and patients across the United States.”
Begitupula
di tahun 2011, seorang pasien dibawa ke RS rujukan di National Institutes of
Health Clinical Center di Maryland. Ia diketahui terinfeksi bakteri Klebsiella
yang memiliki resistensi terhadap beberapa antibiotik poten yang ada saat itu.
Selama di RS ia harus masuk ruang isolasi dan penjenguknya harus mengenakan
gaun khusus serta sarung tangan. Untunglah setelah satu bulan dirawat akhirnya
ia bisa keluar dari RS dengan selamat. Sebulan berikutnya, ada pasien lain yang
terkena bakteri Klebsiella yang sama dengan pasien pertama tadi, disusul pasien
pasien baru di minggu minggu berikutnya. Saat itu total ada 18 pasien yang
terinfeksi dan 6 diantaranya gagal diselamatkan dengan pengobatan (antibiotik)
yang ada.
Kenapa ada
bakteri yang bisa resisten terhadap antibiotik?
MRSA
dan bakteri lainnya yang resisten terhadap antibiotik seperti klebsiella di
atas sebenarnya adalah hasil dari pengobatan modern. Rebecca dan pasien pasien
lain yang meninggal dunia gagal diselamatkan karena semua orang lain yang sakit
sebelum mereka telah terlebih dahulu banyak diobati dengan menggunakan antibiotik.
Antibiotik
bekerja dengan membunuh bakteri penyebab infeksi. Komposisi kimia dari banyak
antibiotik sebenarnya berasal, atau mirip dari senyawa yang dihasilkan oleh si
bakteri sendiri untuk berkompetisi membunuh bakteri lain. Jadi secara natural,
bakteri bakteri ini harus berusaha bertahan hidup dengan mengambangkan
resistensi terhadap senyawa kimia tersebut.
Bakteri
yang berhasil bertahan hidup bisa kembali menyerang orang lain, yang kemudian diberi
lagi antibiotik dan seterusnya dan seterusya. Ini merupakan ‘booster” buat si
bakteri. Mirip proses evolusi, segolongan bakteri yang selamat dari antibiotik
ini akan terus berkembang menjadi lebih kuat dan memiliki resistensi terhadap
bermacam antibiotik. Akhirnya, pada saat si bakteri menyerang Rebecca dan
pasien2 lain di atas, bakteri tersebut sudah merupakan hasil produk adaptasi
yang mempunyai “pharmaceutical tool kit” dan tidak bisa lagi dikendalikan dengan
antibiotik yang umum kita kenal.
Resistensi
obat juga bisa terjadi dengan cara mutasi dimana si bakteri mengambil kemampuan
resistensi tersebut dari bakteri lain yang bisa bertahan hidup. Contohnya, kita
semua memiliki bakteri di dalam usus yang tidak berbahaya (harmless bug) dan kebetulan
memiliki gen resistensi terhadap obat. Bakteri pathogen yang masuk lalu bisa
mengambil kemampuan resistensi dari bakteri usus tersebut dan akhirnya memiliki
resistensi juga.
Tidak
semua bakteri juga mengalami proses evolusi dan menjadi resisten terhadap antibiotik.
Treponema pallidum, misalnya, bakteri penyebab syphilis ini masih bisa
dikendalikan dengan penicillin meskipun di lain pihak sudah banyak bermunculan
bakteri bakteri yang resisten terhadap penicillin. Penggunaan chloroquine di
India masih efektif untuk malaria vivax meskipun sudah mulai terjadi resistensi
di negara lain. Hal ini mungkin bisa jadi petunjuk yang baik untuk mempelajari
bagaimana mencegah resistensi obat.
Bagaimana
menghadapi resistensi obat tersebut?
Yang
pasti sudah waktunya kita juga harus berpartisipasi ikut membatasi perkembangan
kuman atau bakteri yang memiliki resistensi terhadap obat obatan. Salah satu
strategi yang bisa dilakukan yaitu mengubah pola pikir terhadap infeksi.
Seperti pepatah umum yang sudah lama kita kenal “mencegah lebih baik dari
mengobati”. Kasus infeksi sedapat mungkin sejak awal dicegah (first care) dengan
menjaga kebersihan atau dengan vaksin.
Strategi
lain yang sangat penting dengan membatasi penggunaan obat (antibiotik) sebagai “driver”
dari evolusi bakteri itu sendiri. Setiap kali bakteri berhadapan dengan
antibiotik, secara natural terjadi seleksi alamiah yang mengasilkan bakteri
hidup yang memiliki resistensi terhadap antibiotik tersebut. Itu sebabnya
penggunaan antibiotik tidak bisa bebas sembarangan dan harus memakai resep
dokter. “We need to hold back our drugs for only the important cases; only use
drugs when there is clinical need”.
Seringkali
dokter mengobati pasien dengan tujuan utama supaya pasien cepat sembuh
secepatnya (as healthy as possible, as fast as possible). Mereka tidak perduli
dengan konsekuensi adanya evolusi bakteri dari obat obatan yang diberikan, yang
mungkin saja bisa mengakibatkan resistensi dan fatal di pasien pasien
berikutnya. Saat ini resistensi obat semakin meluas, sudah waktunya kita juga
harus berevolusi, mengubah pola pikir bahwa mengobati penyakit dengan
menggunakan obat obatan seperti antibiotik yang ada sekarang pasti beres.
Antibiotik
pertama kali ditemukan dan dipakai sejak tahun 1928, hampir 100 tahun yang
lalu. Kita harus berupaya memikirkan dan menemukan strategi baru untuk
menghadapi bakteri bakteri hasil evolusi.
“Drugs
WERE magic bullets. They aren’t now”
====================================================================
Summary
from the lectures: “Drug Resistance” Epidemics-The Dynamics of Infectious
Diseases -The Pennsylvania State University.
Reports:
Azza
Elemam, Joseph Rahimian, and William Mandell
Infection with Panresistant Klebsiella pneumoniae: A
Report of 2 Cases and a Brief Review of the Literature. Clin Infect Dis. (2009) 49 (2): 271-274
The story of Rebecca Lohsen:
http://www.idsociety.org/Templates/nonavigation.aspx?Pageid=12884901901&id=32212257007
Images:
* By NIAID – NIH http://www.niaid.nih.gov/topics/antimicrobialResistance/Understanding/Pages/drugResistanceDefinition.aspx,
Public Domain, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=41858152
* http://whyfiles.org/shorties/090antibio_resist/
semakin banyak engetahuan tentang pengobatan maka semakin mengerikan yah Dokter, tapi kalau kurang pengetahuan maka kita gak mengetahui jenis-jenis penyakit, saya dan istri sudah diberi suntikan oleh GP kita untuk pencegahan Bakteri Peumonia ini karena di Ozi orang yang memasuki usia 70 tahun sangat diberi segala macam pengobatan pencegahan secara cuma-cuma
ReplyDeletesangat mengerikan yah kalau mendengar ada Bakteri yang resistance terhadap segala Antibiotics
ReplyDelete