Venous Thromboembolism (VTE) Risk during Stay-at-Home
Halo semuanya! Semoga kita masih bisa bersabar ya menahan
diri untuk tidak banyak kumpul kumpul atau keluar yang tidak perlu saat ini. Kasus di Jepang secara keseluruhan kembali
naik, dan kali ini banyak didominasi dari usia muda 20-30 tahunan dengan gejala
ringan atau tanpa gejala. Jangan lupa, SARS-CoV-2 ini belum hilang, dan pasien tanpa
gejala bisa menularkan. Selain itu, usia 20-30 tahunan ini seusia mahasiwa,
atau pekerja aktif yang biasanya banyak memakai transportasi umum.
Oh ya, meski kasus
banyak didominasi dari nightlife business, bukan berarti yang tidak ke sana
aman sentosa. Musuh kita ini tidak kelihatan, dan akan dengan cepat menyebar
luas. National Center for Global Health and Medicine (NCGM) sempat mengeluarkan
tweet (7/7) kalau di Shinjuku-ku jumlah
orang yang menerima PCR test melonjak hingga 167 kasus-the highest ever-; dan positive
rate PCR test minggu lalu juga hampir mencapai 40% seperti saat sebelum
emergency state.
Perjuangan kita masih panjang dan kita harus adaptasi dengan
perubahan pola kehidupan sehari hari. Jadi kali ini saya mau menulis tentang
salah satu risiko kesehatan yang mungkin timbul karena perubahan aktivitas selama
masa pandemik ini yaitu VTE (Venous
Thromboembolism)
1. Apa itu VTE (Venous Thromboembolism)?
VTE merupakan gejala penyakit yang ditandai dengan adanya “thromboembolism”
- sumbatan di pembuluh darah dari bekuan darah yang terlepas dan ikut dalam
sirkulasi peredaran darah. Karena bekuan darah ini terjadi di pembuluh darah
balik (vena), jadilah disebut VTE. VTE sendiri
dibagi lagi menjadi 2 tipe: DVT (Deep
Vein Thrombosis) dan Pulmonary
Embolism (PE)
DVT, biasanya disebabkan adanya bekuan darah yang terbentuk di
vena dalam, sering di tungkai kaki atau paha. Jika bekuan darah ini lepas dan
naik ke atas (jangan lupa ini terjadi di pembuluh darah balik ke jantung/paru)
bisa menyebabkan sumbatan di pembuluh darah paru paru, yang kemudian disebut
PE.
2. Gejala apa yang timbul?
Adanya sumbatan di vena kaki, DVT, bisa menimbulkan gejala
antara lain: sakit, kulit merah, terasa hangat ,bengkak, di area kaki yang
terkena.
Jika sumbatan lepas dan terjadi PE, gejala yang bisa timbul:
sakit dada, sesak nafas, atau nafas jadi cepat pendek (rapid shallow
breathing-tachypnea), detak jantung tidak beraturan, dan pasien bisa kehilangan
kesadaran. PE bisa berakibat fatal.
3. Kenapa bisa
terjadi DVT-PE?
DVT bisa timbul karena posisi statis jangka waktu lama.
Contohnya, pasien yang sulit bergerak pasca operasi, pasien yang kondisinya
harus tiduran/duduk dalam jangka waktu lama, termasuk duduk lama saat
penerbangan panjang (long airplane flight). Itu sebabnya, pasien pasca operasi
biasanya pakai compression stockings, dan tergantung kondisi, biasanya
dianjurkan segera rehabilitasi.
Mungkin banyak yang pernah dengar, tentang “economy class syndrome”. Ini tidak lain
juga DVT, yang terjadi karena posisi
duduk lama di pesawat, terutama di kelas ekonomi dimana ruang untuk menggerakkan
kaki tidak luas. Sudah sering terdengar kasus
dimana penumpang pesawat mendadak lumpuh, sesak nafas, kehilangan kesadaran ,dsb.,
tidak lama setelah turun pesawat dan
diduga disebabkan DVT-PE. Tidak hanya kejadian langsung, beberapa laporan
menunjukkan gejala DVT-PE bisa terjadi beberapa jam, beberapa hari, sampai
beberapa bulan kemudian setelah penerbangan panjang. [Ref1]
4. Apa hubungannya DVT-PE dengan masa pandemic Covid-19?
Kebijakan stay-at –home selama pandemik membuat kita cenderung untuk tidak aktif
bergerak, WFH (Work from Home) duduk lama berjam jam di depan computer sambil
kerja, atau depan TV sambil nonton serial drakor misalnya, bisa beresiko
meningkatkan terjadinya thromboembolism. Risiko tentang ini sudah mulai dikemukakan di
majalah atau journal kesehatan;
“Amid coronavirus, Cushman
said she’s mainly worried about venous thromboembolism. That’s when blood clots
form in the veins and can lead to part of the clot traveling to the lungs and
causing blockage, also called a pulmonary embolism. The symptoms can include
chest pain and shortness of breath” – Dr. Mary Cushman, professor of
medicine and pathology-University of Vermont. [Ref2]
“We recommend
to raise awareness of preventive measures to prevent VTEs, especially lethal
PEs, as part of the stay-at-home policy” [Ref3]
5. Apa benar jika
tubuh ‘immobile’ dalam waktu lama bisa beresiko menimbulkan DVT-PE?
Berdasarkan laporan laporan yang ada, jawaban saat ini, iya.
Tahun 2010, ada penelitian dari Wellington
Hospital (New Zaeland)-melibatkan 197 kasus – yang menyimpulkan ada kaitan
jelas antara “prolonged work-and
computer-related seated immobility” dengan risiko terjadinya VTE. Faktor risiko lainnya bisa dilihat di tabel
yang saya lampirkan [Ref4].
Tahun 2018, ada laporan dari Jepang tentang kasus VTE setelah
adanya gempa di Kumamoto tahun 2016. Saat itu karena khawatir dengan adanya
aftershocks di malam hari, banyak orang yang memilih tidur di dalam mobil. Dan
ternyata, dari data pasien yang masuk ke RS dan butuh perawatan terkait VTE,
mereka berasal dari kelompok yang memilih tidur di dalam mobil pasca gempa.
“Of the 51 enrolled
patients, 42 (82.4%) spent a night in a vehicle” ; “the presence of pulmonary thromboembolism (PTE) was significantly
higher in the night-in-vehicle group.” [Ref5]
6. Bagaimana mengurangi resiko terjadinya VTE karena perubahan aktivitas harian saat ini?
- Usahakan bergerak. Setelah satu jam duduk non-stop, bisa 5
menit stretching ringan, atau jalan ambil minum di dapur misalnya. Cukup minum
juga baik untuk kesehatan tubuh
- Usahakan ada ruang gerak untuk kaki yang nyaman selama
bekerja. Jangan terus menerus kaki dilipat/ditekuk
- Usahakan tetap menjaga kebugaran tubuh, jaga berat badan,
gerakkan badan/olahraga teratur.
PS: Tips untuk ibu ibu di rumah, kalau suaminya WFH dan
anteng lama depan computer, coba sering sering minta tolong cuci piring, buang sampah,
belanja sebentar, masak dsb. Biar ada gerak badan sedikit dan hati kita juga senang
urusan rumah ikutan beres.
“Don’t
Panic – Stay Alert – Get Informed, and Be Wise”
Tokyo, 9 Juli 2020
References:
[1] DUSSE, Luci Maria SantAna et al. Economy class
syndrome: what is it and who are the individuals at risk?. Rev. Bras.
Hematol. Hemoter. [online]. 2017, vol.39, n.4 pp.349-353.
[2]USA Today Health: https://www.usatoday.com/story/news/health/2020/04/08/coronavirus-inactivity-health-experts-tips-self-care-quarantine/2967723001/
[3] Rapid Response: COVID-19: Stay-at-Home Policy and Risk
of Venous Thromboembolismhttps://www.bmj.com/content/368/bmj.m800/rr-21
[4] Healy, Bridget et al. “Prolonged work- and
computer-related seated immobility and risk of venous thromboembolism.” Journal
of the Royal Society of Medicine vol. 103,11 (2010): 447-54. doi:10.1258/jrsm.2010.100155
[5] Sueta D,
Hokimoto S, Hashimoto Y, et al. Kumamoto
Earthquake Thrombosis and Embolism Protection (KEEP) Project Investigators.
Venous Thromboembolism Caused by Spending a Night in a Vehicle After an
Earthquake (Night in a Vehicle After the 2016 Kumamoto Earthquake). Can J
Cardiol. 2018;34:813.e9-813.e10.
No comments:
Post a Comment