Sunday, February 22, 2009

Health Related Rumors: Check and Re-Check!

Health Related Rumors: Check and Re-Check!Akhir akhir ini banyak sekali isu isu tentang kesehatan yang beredar lewat mail. Sudah beberapa kali saya selalu mendapatkan pertanyaan yang sama, apakah artikel ini benar? apakah berita ini sungguhan? kita harus bagaimana? dan sebagainya. Di sini saya mencoba mengumpulkan beberapa isu yang menurut saya cukup top beredar di masyarakat dan juga mencoba mengajak untuk melihat dengan jernih masalah yang sebenarnya ada. Semoga bisa bermanfaat.

Untuk menanggapi berbagai isu yang beredar, sebenarnya hanya satu yang penting, gunakan logika lalu cek dan re-cek ke sumber yang jelas dan terpercaya. Jangan hanya langsung mendengar, tanpa berpikir panjang langsung panik dan mengikuti isu tersebut. Dibawah ini saya bahas ringkas satu persatu beritanya, disertai informasi yang menurut saya perlu kita renungkan dulu sebelum mengambil keputusan yang tepat demi kesehatan kita sendiri.

1. Thimerosal yang terkandung dalam vaksin menyebabkan autis. Vaksin MMR juga menyebabkan autis.Salah satu mail yang saya terima berisi cerita tentang seorang ibu yang anaknya berusia 27 bulan didiagnosa menderita autis, dan berdasarkan buku yang ia baca, autis ini disebabkan oleh thimerosal yang terkandung dalam vaksin yang diterima anaknya. Mail ini juga disertai pertanyaan dari seorang ibu yang bingung kok ada yang setelah vaksin anak anaknya baik baik saja, tapi kok ada yang jadi aneh seperti autis.
--
Pertanyaan si ibu yang menyertai berita tersebut, sungguh pengamatan yang baik. Kenapa? Karena memang autis bukan simple disebabkan oleh faktor tunggal vaksin. Penyebab autis kompleks, gabungan antara genetik dan lingkungan, antara “nature” dan “nurture”.
Thimerosal sebagai pengawet vaksin sudah digunakan sejak tahun 1930-an, dengan kata lain, kita semua yang sudah divaksin tentu sudah menggunakan thimerosal tersebut dan saat itu diagnosa autis tidak sebanyak sekarang. Jelas, menurut saya vaksin tidak bisa disalahkan begitu saja sebagai penyebab autis.
Pernyataan bahwa vaksin yang mengandung thimerosal bisa menyebabkan autis belum terbukti dan sudah mendapat perhatian dari organisasi kesehatan. Meski masih menjadi perdebatan, untuk amannya vaksin vaksin yang ada sekarang sudah bebas dari thimerosal.
(sejak tahun 2001 di Amerika: http://www.fda.gov/cber/vaccine/thimfaq.htm)
Berita terakhir juga menunjukkan, tidak ada penurunan angka penderita autis meskipun thimerosal sudah disingkirkan dari vaksin.
Science daily: http://www.sciencedaily.com/releases/2008/01/080107181551.htm

Sementara itu, isu lainnya yang juga lebih dulu populer, vaksin MMR juga diributkan bisa menyebabkan autis, dipicu karena adanya paper yang menyebutkan tentang hubungan dari vaksin MMR dan autis. Tapi, paper ini sudah ditarik dan pengarang dari paper tersebut juga sudah mengakui bahwa kesimpulan yang mereka ambil dalam journal tersebut salah.
(http://www.vaccinesafety.edu/Lancet-MMR-03-2004.htm)

Keputusan memberi vaksin atau tidak anaknya adalah mutlak hak si ibu. Saya juga hanya bisa menghimbau untuk berpikir jernih dan tidak gegabah mengambil keputusan yang ternyata bukannya menguntungkan malah merugikan si anak kelak. Pikirkan bahwa vaksin pasti mempunyai manfaat penting, apalagi jika sampai seluruh dunia memberlakukan imunisasi wajib.
Vaksin MMR misalnya, tahukah para ibu apa itu rubella, mengapa harus diberikan vaksin rubella tersebut? Rubella yang menular lewat udara pernapasan ini, hanya ringan dan bahkan tidak bergejala untuk orang dewasa biasa, tapi jika menyerang ibu hamil, sungguh akibatnya tak terbayangkan untuk anak yang sedang dikandungnya. Virus ini bisa melewati barrier plasenta, dan anak yang dilahirkan bisa memiliki berbagai cacat bawaan yang dikenal dengan nama congenital rubella syndrome (CRS). Bukan tidak mungkin anak anak yang saat ini tidak menerima vaksin MMR, kelak akan melahirkan anak anak generasi berikutnya dengan cacat bawaan. Begitu pula vaksin hepatitis B yang dihindari sekarang misalnya, bukan tidak mungkin memicu tingginya angka kejadian kanker hati yang justru lebih fatal di kemudian hari.

Tindakan yang kita ambil sekarang bisa menentukan nasib generasi penerus kita juga di masa yang akan datang. Tidak memberikan vaksin misalnya, bukan tidak mungkin kelak membuat penyakit penyakit yang selama ini sudah berhasil di eradikasi dengan vaksin bermunculan kembali.

2. Penyakit cancer – update dari RS. John Hopkins. Mail ini mengatakan bahwa akhirnya RS. John Hopkins mengakui bahwa kemoterapi bukan cara yang tepat mengobati kanker, ada cara alternatif bagaimana melawan sel kanker yakni dengan membuat sel kanker menjadi kelaparan.
--
Tidak banyak yang bisa saya komentari dari sini, hanya saja saya bertanya berapa banyak dari yang membacanya lalu terpikir apakah institusi kesehatan terkenal seperti John Hopkins akan menyebarkan berita kesehatan terbaru tidak melalui publikasi jurnal ilmiah tapi melalui e-mail yang hanya di forward keliling? Atau berapa banyakkah di antara kita yang mencoba mencari tahu kebenaran berita tersebut ke sumber yang disebutkan, dalam hal ini, RS terkenal John Hopkins.
Berkaitan dengan pencarian kebenaran berita ini, ada beberapa hal yang saya ingin bagikan :
- Bantahan dari RS. John Hopkins
(http://www.hoax-slayer.com/cancer-tips-john-hopkins.shtml)
(http://www.hopkinsmedicine.org/kimmel_cancer_center/news_events/featured/cancer_update_email_it_is_a_hoax.html)

Johns Hopkins Kimmel Cancer Center
Office of Public AffairsMarch 2007

EMAIL HOAX REGARDING CANCER

An email falsely attributed to Johns Hopkins describing properties of cancer cells and suggesting prevention strategies has begun circulating the Internet. Johns Hopkins did not publish the email, entitled "Cancer Update from Johns Hopkins," nor do we endorse its contents. For more information about cancer, please read the information on our web site or visit the National Cancer Institute's web site at http://www.cancer.gov/
Another hoax email that has been circulating since 2004 regarding plastic containers, bottles, wrap claiming that heat releases dioxins which cause cancer also was not published by Johns Hopkins. (More information: http://www.jhsph.edu/dioxins)

-JHM-

- Komentar dari komentator terhadap isu ini yang menurut saya perlu kita baca, berikut kutipannya:

Given that the information in this message is not endorsed by Johns Hopkins as claimed, passing on the message is likely to be counterproductive. Certainly, evidence suggests that lifestyle and diet are important factors with regard to cancer prevention and treatment.
While some of the claims included in the message are certainly false, others may be at least partly true. However, cancer is a complex disease that takes many forms. It is very important that people have accurate and up-to-date information about cancer from reliable sources before making decisions or life style changes that may impact on their health.
Therefore,
people should seek information about cancer from trusted and credible sources such as the National Cancer Instituteor medical practitioners rather than believing the claims in a factually dubious email forward that includes outright lies about a supposed endorsement from Johns Hopkins.
In fact, any health-related advice or warnings that circulate via email, blogs and forums should be checked for accuracy before being passed on to others”.


3. Menghentikan konsumsi susu merupakan petunjuk untuk melawan kanker payudara. Disarikan dari buku karangan seorang ilmuwan (berjudul “Your Life In Your Hand”) yang menceritakan keberhasilannya sembuh dari kanker payudara dengan menghentikan konsumsi susu atau produk dari susu.
--
Penulis buku tersebut adalah geochemist, dan memang benar bukunya ada serta dapat diakses dari Amazon.com
Berikut ini ada wise comment dari customer Amazon.com yang menurut saya perlu kita ketahui bersama.

The premise that since Oriental women don't consume a lot of dairy products and have less incidence of breast cancer is plausible, but unproven. I shudder to think of the thousands of women who will change their diets based on this book. I am most concerned that the high intake of estrogens and phytoestrogens, especially in the soy products recommended, could be detrimental to some women. There is still controversy in the medical community about the use of soy. If you read this book as an interesting scientific, but unproven, premise, you will be fine. If you take this book to heart, without consulting your medical specialist, you could be opening a can of worms. Dr. Plant is a respected scientist in her field. As a breast cancer survivor and advocate, I question some of her findings. The studies she cites to validate her ideas are older, some of obscure practice and are not widely confirmed. I also take issue with her description of her own breast cancer diagnosis. It returned 5 times according to the author and yet she states that it was an early stage at diagnosis. The tumor on her neck disappeared during chemo and she credits only her non-dairy diet for this shrinkage. She says that it spread to her lymphatic system, but her lymph nodes were clear. The book is interesting reading, but while I do not doubt her personal beliefs or her expertise as an earth-based scientist, I do hesitate to recommend this book to anyone. I am afraid that too many women, looking for a quick fix, will adapt her lifestyle without question. There still is no known cause or cure for breast cancer. Feel free to search alternative options and methods, but please, discuss any changes in your treatment, diet or life with your medical team and make an informed decision”.

Masih banyak lagi rasanya berbagai isu yang beredar selain yang saya bahas di atas dan memang sulit untuk memilih mana info yang harus dipercaya dan tidak. Sebagian dari informasi tersebut mungkin benar, tapi banyak juga yang tidak tepat. Intinya, jangan mudah percaya dan menelan bulat bulat begitu saja informasi yang diterima tanpa di cek lebih lanjut kebenarannya.

Begitupula untuk rekan sejawat, sedapat mungkin kita harus bisa memberikan informasi yang tepat ke masyarakat. Jangan ikutan mengirim (forward) berita yang kita sendiri bahkan tidak bisa mengatakan benar atau tidaknya. Sedih rasanya menerima forward e-mail tentang isu kesehatan di atas dari rekan sejawat sendiri. Jika kita sebagai orang yang harusnya bisa menjadi sumber yang dipercaya malah ikutan terjerumus tidak berpikir jernih, entah bagaimana jadinya orang awam yang lebih tidak mengerti duduk perkara masalah sebenarnya.

Semoga artikel ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

Salam sehat,
Kathryn-Tokyo

Thursday, February 5, 2009

Men’s Killer: Lung Cancer







Men’s Killer: Lung Cancer

Akhirnya, selesai juga artikel ini setelah sekian lama tertunda. Setelah kanker payudara pada wanita, sekarang giliran kanker paru pada pria. Selamat membaca, semoga berguna.

Paru merupakan organ tubuh yang sangat penting. Fungsi paru sudah jelas untuk tempat pertukaran gas antara udara yang kita hirup dengan aliran darah. Melalui paru, karbon dioksida hasil akhir metabolisme dibuang dan oksigen diambil masuk untuk kelangsungan metabolisme sel. Organ yang sangat membutuhkan keberadaan oksigen adalah otak. Cukup dengan hanya menghambat jalan nafas atau menghambat aliran darah yang membawa oksigen ke otak, dalam hitungan menit seseorang bisa kehilangan kesadaran dan bisa berakibat fatal. Karena itu, mari kita rawat paru sebagai gerbang utama masuknya oksigen dalam tubuh kita.

Sesuai namanya, kanker paru berarti adanya abnormalitas pertumbuhan sel di jaringan paru, dan lokasinya bisa dimana saja di paru termasuk di selaput tipis yang menyelimuti paru (pleura). Tapi, sebagian besar kanker paru berasal dari kelainan sel yang terletak di jalan nafas (airways) yang di kenal dengan sebutan bronkus atau bronkiolus yang lebih kecil. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat dari gambar di bawah ini (Sumber ilustrasi: Macmillan cancerbackup, UK).





Secara garis besar ada 2 tipe kanker paru yang dibedakan berdasarkan pemeriksaan histopatologis melalui mikroskop. Yang tersering didapatkan yakni “non-small cell lung carcinoma” (NSCLC) sekitar 80% dari seluruh kasus kanker paru, dan sisanya adalah “small cell lung carcinoma” (SCLC). Kedua tipe kanker paru ini berkembang dan menyebar dengan cara berbeda sehingga penting untuk diketahui, terutama karena bisa berpengaruh juga pada langkah pengobatan yang diambil oleh dokter.

Kembali saya cantumkan tabel (Global Cancer Statistic, 2002, A Cancer Journal for Clinicians) yang sudah pernah keluar di artikel sebelumnya. Kanker paru masih menjadi kanker yang tersering pada pria (hanya berbeda sedikit di bawah kanker prostat, untuk negara maju), meskipun akhir akhir ini angka kejadian kanker paru pada wanita pun meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah wanita yang merokok.





Sama seperti pada kasus kanker lainnya, mengetahui faktor resiko penyebab kanker paru penting untuk bisa menghindarinya.
Berikut adalah faktor resiko penyebab kanker paru:
1. Smoking
Merokok sangat berkaitan erat dengan terjadinya kanker paru. Tidak heran merokok tidak hanya sekedar disebut sebagai faktor resiko, tapi benar benar dianggap sebagai penyebab utama kanker paru. Resiko terjadinya kanker paru juga meningkat seiring dengan banyaknya dan lamanya seseorang merokok. Intinya: the more you smoke, the greater your risk of developing lung cancer. Untuk mengukur risiko dari jumlah dan lamanya merokok, digunakan istilah “pack- year of smoking” Caranya dengan mengkalikan jumlah rokok yang dihisap setiap hari dengan lamanya merokok, dibagi 20 (1 bungkus pack berisi 20 rokok). Jadi jika merokok 10 batang setiap hari selama 20 tahun misalnya: (10x20)/20 = 10 pack-year. Resiko kanker paru sudah meningkat dengan 10 pack-year, dan dikatakan resiko terbesar jika lebih dari 30 pack-year.

Parahnya, tidak hanya si perokok yang mempunyai resiko kanker paru ini, orang lain di sekitarnya yang juga menghisap asap rokok (passive smoking) ikut terseret memiliki resiko tersebut. Perokok pasif adalah orang orang yang tidak merokok tapi menghirup asap rokok yang dihasilkan dari perokok aktif.
Asap yang dihasilkan disini dikenal dengan istilah “secondhand smoke” (SHS) atau “environmental tobacco smoke” (ETS) dan merupakan asap gabungan dari 2 jenis hasil pembakaran tembakau:
- sidestream smoke (asap yang berasal langsung dari rokok yang dibakar)
- mainstream smoke (asap yang dikeluarkan oleh si perokok)

Perokok pasif jelas menjadi masalah karena menyebabkan problem kesehatan yang sama dengan perokok aktif karena juga menghirup zat zat karsinogen (zat zat yang beresiko menyebabkan kanker). Menurut American Cancer Society, tembakau mengandung lebih dari 4,000 zat kimia, dimana lebih dari 60 di antaranya telah diketahui atau diduga sebagai zat penyebab kanker. Tidak hanya beresiko menderita kanker paru, anak anak yang menghirup asap rokok tersebut juga beresiko menderita radang paru paru seperti pneumonia dan bronchitis. Selain itu, ibu hamil juga beresiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

Selain itu, baru baru ini ada istilahthirdhand smoke yang dipublikasikan di PEDIATRICS journal bulan Januari ini. Thirdhand smoke merujuk pada adanya kontaminasi dari hasil sisa merokok yang masih tertinggal meskipun sudah stop merokok. Terutama jika merokok di dalam rumah, racun yang tertinggal tidak hanya menempel di baju atau rambut si perokok, tapi juga terkumpul di setiap sudut rumah dan bertahan hingga berhari hari bahkan bulanan dengan korban yang paling dirugikan adalah bayi dan anak anak. Pernyataan yang saya kutip dari journal tersebut:Breathing air in a room today where people smoked yesterday can harm the health of infants and children”.

Kembali ke kanker paru, semakin cepat seseorang berhenti merokok, semakin bisa sesegera mungkin menurunkan resiko terkena kanker paru. Jaringan paru akan perlahan ber-regenerasi kembali ke jaringan yang sehat dan setelah kira kira 15 tahun stop merokok, maka tingkat resiko menderita kanker paru akan kembali mendekati seperti pada orang yang tidak merokok.

2. Asbestos fibers
Asbes banyak digunakan dalam berbagai industri, rumah rumah di Indonesia juga mungkin masih ada yang beratapkan asbes. Serat asbes yang terhirup bisa menyebabkan peradangan kronik pada jaringan paru yang dikenal dengan istilah asbestosis. Selain itu, terpapar asbes dalam jangka waktu lama juga meningkatkan resiko terkena kanker paru. Pekerja industri yang terpapar asbes sekaligus juga merokok, memiliki resiko 50 hingga 90 kali lebih tinggi untuk terkena kanker paru. Jenis kanker paru yang dikaitkan erat dengan asbes sebagai penyebabnya adalah mesothelioma, dimana kanker terjadi pada lapisan selaput yang menutupi paru (pleura).

3. Genetic risk
Sama seperti kanker lainnya, seseorang dengan riwayat keluarga ada yang menderita kanker biasanya memiliki resiko lebih tinggi untuk juga kelak terkena kanker. Pada kanker paru, adanya mutasi pada kromosom nomor 6 dicurigai sebagai terdakwa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kanker. Aktivasi dari gen gen dalam kromosom yang berpotensi menyebabkan kanker (oncogenes) dan sebaliknya, inaktivasi dari gen gen yang berfungsi menjaga (tumor suppressor genes) berperan penting dalam mencetuskan terjadinya kanker.

4. Air pollution
Polusi udara memang hanya sedikit memegang peranan dalam terjadinya kanker paru dibandingkan dengan merokok, tapi bukan berarti bisa dihilangkan begitu saja pengaruhnya terhadap kesehatan paru paru. Sekitar 5% dari kematian karena kanker paru diduga karena udara kotor yang dihirup sehari hari.

Lagi lagi sifat jelek kanker, sulitnya deteksi dini. Biasanya stadium awal kanker selalu tanpa gejala atau gejala yang timbul tidak jelas. Begitu sudah jelas, biasanya sudah stadium lanjut atau bahkan sudah menyebar (metastasis) sehingga pengobatan menjadi sulit dan prognosis buruk. Disinilah pentingnya pemeriksaan rutin kesehatan, yang sayangnya masih belum menjadi milik semua warga Indonesia tanpa kecuali.

Ada baiknya juga kita berusaha mengenali gejala dan tanda kanker paru. Karena letaknya di paru, otomatis gejala yang paling mudah terlihat tentu berhubungan dengan saluran pernafasan, antara lain:
- nafas terasa pendek, kadang sulit bernafas
- nyeri dada yang terasa semakin berat jika bernafas dalam, tertawa atau batuk
- batuk yang tidak sembuh sembuh (kronik) dan kadang disertai darah
- jika kanker menyebar ke arah kerongkongan (esophagus) bisa mengalami sulit menelan, jika menyerang pita suara, suara menjadi serak
- nafsu makan hilang, berat badan terus menurun disertai rasa lelah
- kanker paru sering bermetastasis ke tulang, dan akan menyebabkan rasa nyeri pada tulang yang terkena. Bisa juga bermetastasi ke otak dan keluarlah gejala gejala neurologik seperti pusing, pandangan kabur, bahkan stroke juga bisa terjadi.

Gejala klinis kanker paru ini, kadang sulit dibedakan dengan penyakit paru lainnya karena gejala yang tumpang tindih. Batuk misalnya, bisa saja hanya gejala radang paru (pneumonia) atau gejala TBC. Karena itu pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa pasti juga penting dilakukan. Rontgen dada (chest x-ray) merupakan langkah pertama yang bisa diambil jika pasien dicurigai memiliki gejala kanker paru. Jika dari hasil x-ray ada lokasi/spot yang dicurigai sebagai kanker, barulah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan CT-scan atau MRI misalnya. Disini dokter akan bisa memperkirakan lebih tepat lokasi, ukuran, bentuk kankernya dan mendeteksi apakah sudah terjadi penyebaran atau belum ke organ lain. Sedangkan untuk memastikan ada tidaknya sel kanker, bisa dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan pemeriksaan sputum (phlegm), bronchoscopy atau dengan biopsy (FNA) untuk mengambil sampel jaringan yang dicurigai dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop.

Apapun jenis kanker (maupun penyakit lainnya), mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Tidak semua faktor resiko suatu penyakit bisa kita hindari, tapi dengan menyadari dan kemudian berusaha untuk mengeliminasinya sudah merupakan tindakan pencegahan yang sangat baik.

Salam sehat,
Kathryn-Tokyo

Sumber:
- Global Cancer Statistic, 2002, A Cancer Journal for Clinicians.
- Macmillan cancer support: http://www.cancerbackup.org.uk/Home
- MedicineNet.com: http://www.medicinenet.com/lung_cancer/article.htm
- American Cancer Society (ACS) Cancer Reference Information: http://www.cancer.org/docroot/CRI/CRI_0.asp
- U.S. National Institutes of Health (National Cancer Institute): http://www.cancer.gov/
- Winickoff, JP., et al. Beliefs About the Health Effects of “Thirdhand” Smoke and Home Smoking Bans. Pediatrics 2009; 123; e74-e79.
http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/abstract/123/1/e74
- Wikipedia
- Sumber ilustrasi: www.mycanceronline.com