Sunday, July 12, 2009

The Effects of Drugs on Pregnancy

The Effects of Drugs on Pregnancy


There was a question from one member of “milis dokter” group asking if amoxicillin is safe to be given to his pregnant wife. The answer was yes; so far amoxicillin is a safe drug that can be given to an expecting woman. The next problems then, how far is it safe? Are there absolutely no side effects both for the mother and the baby? In case of pregnancy, isn’t there any deviation of body’s response to drugs? Unfortunately, for all these questions, the answers are still unclear. Meanwhile, I read a related article in TIME magazines “Pregnancy and Pills” which spotlighted our very little known information about drugs in pregnancy. A good topic I would like to share with you.

I believe we must be familiar with all precautions written in the drugs label, warning us to avoid nearly every kind of medication from the moment of conception onward. However, many pregnant women have to battle against psychiatric illness, cancer, autoimmune disease, influenza and other conditions that require treatment. This condition is leaving many unanswered questions; will the benefits of the drugs outweigh the risk to the baby? what is the appropriate dosage for a mom-to-be? According to the article, an obstetrics researcher group in Seattle recently concluded there is no way to give a pregnant woman enough of the antibiotic to be effective. Kidney function is so revved up during pregnancy that even in high doses, amoxicillin is excreted before it can work its magic. Jason umans, an internist and maternal-fetal pharmacologist at Georgetown University said that in emergencies, you always hear, “Treat the pregnant women first!” but then the joke should be “Yeah, how?”

Chronic illness like depression, diabetes and hypertension do not magically disappear during pregnancy. And as women delay child-bearing, more pregnant women are facing cancer. They have to choose between decline medications whose effects on fetus may be largely unknown or take the treatment and worry about the consequences. If they choose the latter approach, they will be asked to sign a raft of release form so doctors will not be sued if problems arise. “It was very frustrating,” said Patty Sosnader who received a diagnosis of Hodgkin’s disease at the end of her first trimester. “Everyone had their own opinion about what I should do, but there were no facts to support any of it.”

So far, we are using FDA guideline on classifying drugs and their effects on pregnancy. However, there are some facts that we should be aware of. See the table below:

It is also written in the article that an elite group of some 30 doctors, ethicists, scientists and government officials gathered in Washington this spring to launch a movement they are calling the Second Wave of clinical research (The first happened in the early ‘90s, when studies began to include large numbers of women) to start formulating an answer for many questions above. They will seek for better information on how drugs affect pregnant women. The Second Wavers suggest a test which analyzes the amount of medication circulating in the bloodstream of pregnant women who are already taking prescriptions drugs out of necessity. Actually, this kind of study has already been doing by National Institute of Health (NIH), where they seed pregnant women taking prescriptions drugs who are willing to stay in a hospital for at least 12 hours hooked up to an IV, ideally once a trimester. You need to be an extremely generous person to volunteer for that and so far, only fewer than 500 women have taken part in that studies. Yes, this is not an easy job, since research on pregnant woman will raise ethical issue too; but I believe this is a good move to have a more reliable evidence-based data about drug’s effects on pregnant women.

“People are very uncomfortable with shades of gray, and pregnancy is all gray” said Karen Feibus who oversees the FDA’s maternal health team. It is true, but of course all of us are hoping that someday we can paint the grey area with a clear distinct colour. Well, research studies on pregnant woman are just beginning. Let’s wait and see.

Reference:

- Life: Pregnancy and Pills (TIME, June 8, 2009)

Thursday, June 4, 2009

An Unsolved Problem: Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)


Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)

Demam berdarah dengue atau sering disingkat DBD bukan penyakit baru, terlebih di negara kita tercinta, DBD sudah menjadi penyakit yang sangat popular. Kita juga bahkan mengenal ada musim demam berdarah dan saat itu biasanya RS penuh dengan pasien demam berdarah sampai sampai kamar perawatanpun tidak cukup menampung jumlah pasien yang masuk.
Meski terasa sudah begitu akrab mengenal penyakit ini, ternyata kita (termasuk dokter sekalipun) masih sering kecolongan dalam mengatasinya. Masih banyak keluarga yang harus berduka cita karena kehilangan sanak saudaranya akibat demam berdarah.
“Know your enemy and know yourself and you can fight a thousand battles without disaster” (Sun Tzu – The Art of War). 
Dalam artikel kali ini yuk kita lihat, kita kenali lagi musuh kita si DBD ini. Semoga kita akan bisa memenangkan pertempuran melawannya.

Pertama, kita kenali dulu apa itu demam berdarah. Demam berdarah merupakan penyakit yang banyak dan umum terdapat di negara tropis, seperti Brazil, Pakistan, India, Thailand, Vietnam, Malaysia dsb, termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue, yang ditularkan ke manusia melalui nyamuk Aedes aegypty atau Aedes albopictus. Demam berdarah banyak terdapat di negara tropis karena nyamuk perantaranya tersebut membutuhkan iklim yang hangat untuk berkembang biak.

Virus Dengue sendiri terdiri dari 4 strains/serotypes, DENV1, DENV2, DENV3 dan DENV4, yang meski mirip tapi berbeda satu sama lain. Seseorang yang sudah terkena satu jenis strain, bisa terkena demam berdarah lagi dari strain yang lainnya dan bahkan bisa menjadi lebih fatal. Kenapa? karena sifat strain virus Dengue ini yang ‘serupa tapi tak sama’. Jadi, jika terkena strain virus DENV1 misalnya, biasanya pasien akan membaik dan tubuh akan membentuk antibody yang mengenali DENV1 tersebut. Lalu, terkena lagi dari strain yang lain, DENV2 misalnya, nah sistem kekebalan tubuh bisa salah mengenali dan mengira kalau yang menyerang ini virus DENV1. Akibatnya, meski antibody tubuh berkumpul untuk menghadang si virus, tapi mereka gagal stop infeksi dari DENV2 tersebut, dan malah memicu terjadinya suatu reaksi tubuh yang dikenal dengan nama ‘Antibody-Dependent Enhancement (ADE)’.
Disini si virus Dengue yang tidak mati tersebut malah memanfaatkan antibody tubuh kita untuk bereplikasi memperbanyak dirinya sendiri sehingga akibatnya infeksi kedua ini bisa lebih parah dari infeksi pertama, dan berakibat fatal. 

Meski semua strain virus Dengue berpotensi fatal, terutama jika sebelumnya sudah pernah terkena serangan virus dari strain yang berbeda, ada kecenderungan virus DENV2 dan DENV3 untuk lebih berpotensi fatal dibandingkan virus DENV1 dan DENV4. Kemungkinan karena produksi virus DENV2 dan DENV3 lebih cepat dan lebih banyak sehingga serangan pun lebih berat.

Lessons learned: Seseorang bisa terkena demam berdarah lebih dari satu kali sepanjang hidupnya. Harus lebih waspada dan berhati hati dalam menangani kasus demam berdarah yang sudah berulang karena lebih beresiko ketimbang serangan pertama.

Demam berdarah tidak menular langsung dari manusia ke manusia melainkan melalui nyamuk sebagai perantaranya. Jadi setelah mengenal virus Dengue, sekarang kita coba mengenal nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sebagai vektor perantara penularan virus Dengue ini ke manusia. Kedua jenis nyamuk ini memiliki ciri khas: warna belang putih di kakinya (lihat foto).

(Aedes aegypty)                (Aedes albopictus)


Umumnya yang menggigit manusia adalah nyamuk betina, karena membutuhkan darah untuk perkembangan telur telurnya. Karena daya terbang mereka yang rendah, hanya sekitar 100-200 meter, tentu saja mereka akan tinggal tidak jauh dari mangsanya, di daerah pemukiman penduduk. Mereka akan meletakkan telur telurnya di air yang tergenang (tidak mengalir) dan biasanya air yang cukup bersih, yang justru juga banyak di rumah rumah penduduk. Selain itu umumnya mereka juga aktif mencari makan (menggigit) sesuai jam kerja manusia, pagi sampai sore hari. Aedes aegypty umumnya menggigit pada pagi hari dan menjelang sore saat matahari terbenam, sedangkan Aedes albopictus biasanya pada siang hari.

Di Indonesia, ada kebiasaan punya ‘jam tidur siang atau tidur sore’, anak anak setelah pulang sekolah juga biasanya tidur siang/sore dulu sebelum beraktivitas lagi sore/malam harinya. Ini sasaran empuk dari si nyamuk nyamuk yang sedang giat giatnya mencari makan itu. Apalagi kalau pas siang udara terasa panas, tidur dengan jendela dibuka dan membiarkan angin berhembus masuk. Celakanya, tidak hanya angin, nyamuk pun berpesta pora jadi tamu tak diundang.

Lessons learned: Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Perhatikan dan kenali keadaan rumah dimana ada kemungkinan air bersih tergenang (air di vas bunga, air tempayan, air bak mandi, dsb). Jalankan program 3M (Mengubur, Menutup, Menguras) untuk memutus mata rantai perkembang biakan nyamuk. Jika ada tempat yang tidak bisa dilakukan program 3M tersebut, bisa saja ditaruh ikan sebagai predator dari larva nyamuk atau tambahkan bubuk insektisida Abate sesuai petunjuk penggunaan. Jangan lupa, berusaha tidak menjadi santapan nyamuk. Pakai kelambu jika tidur, atau lotion anti nyamuk. Tidak kalah penting, usahakan selalu menjaga kesehatan tubuh agar kuat melawan si virus Dengue ini.

Setelah mengenali virus dan nyamuk sebagai perantara penularan demam berdarah, sekarang kita coba kenali gejala demam berdarah dan apa yang penting harus diperhatikan dalam penanganan demam berdarah.
Setelah nyamuk yang membawa virus Dengue menggigit manusia, virus akan masuk ke dalam tubuh manusia dan berinkubasi di dalamnya. Gejala demam berdarah biasanya baru tampak setelah 4-7 hari kemudian. Terutama pada saat musim demam berdarah, jika ada gejala klinis seperti di bawah ini, sebaiknya diwaspadai kemungkinan demam berdarah.

- demam mendadak. Pada demam berdarah, dikenal pola demam pelana kuda (demam beberapa hari naik lalu turun, dan naik kembali sehingga menyerupai bentuk pelana kuda)
- sakit kepala, badan dan sendi terasa pegal linu
- perut tidak enak, ada rasa mual dan muntah
- perdarahan (paling dini, jika terdapat bercak perdarahan di kulit).
Pada pasien yang dicurigai demam berdarah, bisa dilakukan tes
Rumple-Leed (atau dikenal juga dengan sebutan tes Tourniquet) untuk melihat adanya manifestasi perdarahan kapiler kulit. Perdarahan yang berlanjut, gusi berdarah, mimisan, perdarahan usus, dsb bisa membawa pasien ke kondisi kritis yang dikenal dengan istilah ‘Dengue Shock Syndrome (DSS)’
- pemeriksaan laboratorium yang menunjang dugaan demam berdarah: turunnya trombosit (sel darah yang berperan untuk pembekuan darah) dan naiknya hematokrit (penunjuk kekentalan darah). Ada pula tes tambahan untuk memastikan jenis strain virus yang menyerang.

Infeksi virus Dengue dalam tubuh dapat menyebabkan naiknya permeabilitas pembuluh darah yang akan menyebabkan cairan plasma tubuh merembes keluar pembuluh darah. Inilah yang menyebabkan kekentalan darah (yang ditunjukkan oleh kadar hematokrit) meningkat dan pasien akan mengalami dehidrasi. Selain itu pembuluh darah juga menjadi rapuh dan mudah rusak, sehingga mudah terjadi perdarahan.
Celakanya, virus ini juga bisa memicu suatu mekanisme dalam tubuh yang dikenal sebagai ‘
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)’ yang ditandai dengan peningkatan D-dimer dan menyebabkan proses pembekuan darah terjadi secara berlebihan. Jika hal ini luput dan tidak cepat ditangani, tentu berakibat fatal.

Satu lagi yang juga harus diwaspadai, proses memburuknya penyakit demam berdarah (berkembang ke arah dengue syok syndrome/DSS) dan dilaporkan banyak terjadi pada hari ke-3 hingga ke-5 sesudah demam. Saat itu kadang demam pasien juga sudah turun sehingga mengira kondisi pasien membaik, padahal sebaliknya, inilah saat yang harus diwaspadai. Keluhan seperti sakit perut, muntah, perdarahan di mana saja (kulit, mimisan, BAB tinja hitam, dsb) harus diwaspadai dan ditindaklanjuti.

Lessons learned: Pasien demam berdarah rentan terhadap resiko dehidrasi. Penting sekali untuk memantau dan menjaga asupan cairan tubuh. Perbanyak minum, jus jambu dan POCARI sweat boleh diminum karena mengandung elektrolit yang kebetulan juga cocok dengan elektrolit cairan tubuh. Untuk menurunkan panas, boleh meminum obat anti panas Paracetamol. Tapi, JANGAN aspirin atau ibuprofen karena keduanya berpotensi meningkatkan resiko perdarahan. Aspirin mempunyai efek mencegah pembekuan darah, sementara pada kasus demam berdarah justru kebalikannya, kita ingin terjadi pembekuan darah untuk mencegah perdarahan organ tubuh. Sekali lagi berhati hatilah dalam meminum obat dan segera ke dokter jika mencurigai ada anggota keluarga yang terkena demam berdarah. 

Demikian cerita saya tentang demam berdarah dengue ini. Semoga membuat kita semakin lebih mengenal musuh kita dan lebih mudah untuk melawannya.

Salam sehat,
Kathryn-Tokyo
“This article is dedicated to my friend who just lost his 14-year-old nephew due to DHF”

References: