Wednesday, March 6, 2019

A New Hope in the Long Battle against HIV-AIDS Virus


A New Hope in the Long Battle against HIV-AIDS Virus


Tanggal 5 Maret 2019 di journal ilmiah bergengsi, Nature, dimuat artikel tentang keberhasilan eliminasi virus HIV di tubuh pasien. Berita ini dengan segera menyebar dan diberitakan di mana mana. Ini berita yang menyegarkan dalam perjalanan panjang melawan penyakit yang masih menjadi momok banyak orang ini. Saya ringkas kisahnya ya.

Tahun 2007, ada pasien dengan leukemia yang juga kebetulan positive HIV menerima transplantasi sumsum tulang untuk mengobati leukemianya. Sumsum tulang yang ia terima berasal dari donor yang memiliki mutasi protein CCR5. Setelah transplantasi, dilakukan terapi immunosuppressive yang agresif hingga pasien bahkan hampir meninggal. Ternyata setelah pengobatan selesai ditemukan tidak hanya leukemia nya saja yang berhasil diobati, tetapi virus HIV di dalam tubuhnya juga berhasil dieliminasi. Kesembuhan di pasien yang diberi identitas “Berlin patient” ini memicu dokter melakukan tindakan yang sama untuk pasien lain. Sayangnya, tidak membuahkan hasil yang diharapkan sehingga saat itu mereka berpikir keberhasilan eliminasi virus HIV ini mungkin karena aggresif nya terapi yang diterima pasien saat itu, atau hanya keberuntungan semata.

Tahun 2016 kembali dilakukan transplantasi sumsum tulang untuk pasien Hodgkin’s lymphoma. Donor yang diterima juga memiliki mutasi protein CCR5, dan pasien juga menjalani terapi immunusuppresive, tetapi tidak seagresif pasien sebelumnya karena sudah mengikuti standard guideline baru yang lebih aman. Dan akhirnya, setelah 12 tahun berlalu, pasien yang diberi identitas “London patient” ini juga mengalami kesembuhan dari kanker dan sekaligus HIV yang dideritanya. Dokter menemukan kalau virus HIV hilang total “completely disappeared” dari dalam tubuhnya setelah menjalani transplantasi. Pasien juga stop mengkonsumsi obat antiretrovirus untuk HIV, dan 18 bulan setelah berhenti minum obatpun masih tidak ada tanda tanda virus HIV kembali di tubuhnya. Ini menjadikan ia sebagai pasien ke-2 yang dianggap bisa menyamai keberhasilan eliminasi jangka panjang virus HIV seperti kasus “Berlin patient” sebelumnya.


Protein CCR5 merupakan salah satu target untuk pengobatan HIV karena adanya defective di protein ini diduga bisa menghasilkan resistensi/kekebalan terhadap virus HIV. Sayangnya, virus HIV juga bisa menggunakan protein lain selain protein CCR5 untuk masuk dan replikasi dalam tubuh, sehingga trasnplantasi ini hanya terbatas untuk pasien dengan virus HIV yang diketahui masuk melalui protein CCR5 tersebut. Selain itu, tidak semua pasien HIV juga menderita kanker dan menjadi kandidat menerima transplantasi sumsum tulang. Masih banyak yang harus dipelajari, tapi yang pasti, keberhasilan ini menjadi langkah maju untuk terbukanya pengobatan yang lebih baik terhadap pasien HIV.

“This will inspire people that cure is not a dream. It is reachable”
~ Dr. Annemarie Wensing, a virologist at the University Medical Center Utrecht in the Netherlands.

References:
image: https://ja.wikipedia.org/wiki/CCR5



Monday, February 4, 2019

World Cancer Day

World Cancer Day – February 4, 2019
Hari ini tanggal 4 Februari ditetapkan sebagai hari kanker internasional.  Jadi  lagi lagi saya menulis tentang pentingnya pengetahuan tentang kanker. Pencegahan dan deteksi dini kanker akan sangat berpengaruh terhadap hasil pengobatan yang bisa dilakukan (がんの早期発見· がん検診)
Di Jepang sendiri ada lima jenis kanker yang dianjurkan oleh pemerintah untuk deteksi dini, karena dengan adanya deteksi dini angka kematian yang disebabkan oleh kanker tersebut berhasil diturunkan.  Kanker lambung (melalui barium swallow test atau endoskopi lambung), kanker paru (melalui x-ray paru dan test sputum), kanker usus besar/kanker colon (melalui stool test), kanker mulut rahim/cervix (melalui PAP smear), kanker payudara (melalui mammography maupun USG).
Untuk wanita, kanker payudara dan kanker mulut rahim, adalah dua jenis kanker yang harus kita beri perhatian lebih. Sudah pernah saya bahas di artikel sebelumnya, kasus kanker payudara mulai meningkat sejak usia 35 tahun ke atas dengan peak di usia 45-49 tahun.  Dari data National Cancer Center Jepang (NCC-国立がんセンター) dibandingkan tahun 2003, data tahun 2014 jumlah kasus meningkat tinggi (lihat gambar).  Banyak faktor yang mempengaruhi, yang jelas sampai saat ini kanker payudara masih menduduki peringkat pertama insidens kanker pada wanita.
Deteksi dini kanker payudara meliputi: periksa payudara sendiri (SADARI) dan cek teratur mammography atau USG. Sejak usia 40 tahun, mammografi dianjurkan dilakukan setiap 2 tahun sekali.  Kanker payudara yang ditemukan di stadium dini memiliki outcome yang cukup baik, survival rate bisa mencapai di atas 90%; tetapi pada stadium lanjut survival rate jatuh hingga hanya sekitar 26%.  
Kanker mulut rahim/kanker cervix juga termasuk kanker yang harus diwaspadai oleh wanita. Faktor risiko untuk kanker ini antara lain: wanita dengan riwayat hamil/ melahirkan lebih dari 3 kali (kebalikan dengan kanker payudara yang justru meningkat resikonya pada wanita yang belum pernah hamil/melahirkan), dan infeksi dari HPV (Human Papilloma Virus) yang bisa ditularkan melalui hubungan seksual. HPV ini ada “low-risk types” dan “high-risk types”.  High risk types ini yang dikaitkan erat sebagai penyebab kanker cervix. Saat ini HPV strain 16 dan 18 yang disinyalir sebagai penyebab dari 70% kasus kanker cervix sudah dimasukkan ke dalam vaksin HPV.  Penting untuk diingat, vaksin HPV tidak menggantikan posisi tes PAP smear. Vaksin HPV tidak memproteksi semua jenis strain virus yang mungkin bisa menyebabkan kanker cervix, sekaligus tidak menyembuhkan infeksi virus HPV tersebut. Periksa PAP smear rutin tetap dianjurkan untuk deteksi dini. Di sini test PAP smear sudah dianjurkan sejak usia 20 tahun ke atas, setiap 2 tahun sekali karena dianggap sudah masuk masa seksual aktif.  Berdasarkan data statistik, kasus kanker cervix sudah mulai meningkat pada usia 25-29 tahun (lihat gambar). 
Pengobatan kanker sendiri sudah banyak mengalami kemajuan pesat dibandingkan 10 tahun yang lalu misalnya. Tahun 2018 lalu, peraih Nobel di bidang kedokteran, Prof Tasuku Honjo (Kyoto University) dan James P Allison (MD Anderson Cancer Center) menemukan salah satu mekanisme yang menyebabkan sel imun di dalam tubuh tidak bisa mengenali dan membunuh sel kanker. Prof Tasuku Honjo ini menemukan PD-1 1, protein yang bertanggung jawab terhadal hal tersebut. Sedangkan rekannya dari Amerika, menemukan CLTA-4 yang mekanisme kerjanya mirip dengan PD-1. Berdasarkan penemuan ini, dibuat obat obat yang dikenal sebagai PD-1 inhibitor/PDL-1 inhibitor atau immune checkpoint inhibitor. Dengan memblokir protein tersebut, diharapkan sel imun kembali bisa berfungsi untuk membunuh sel kanker. Obat first line yang di-approved untuk dipakai secara klinis tahun 2014, namanya Opdivo (Nivolumab), ini yang banyak keluar dibahas di TV tahun lalu. Dengan adanya obat obat ini kita punya tambahan senjata baru dalam pengobatan kanker, meskipun belum bisa dipakai di semua jenios kanker. Banyak kasus kanker yang memiliki status negative untuk PDL-1 protein dan "low response" terhadap obat baru tersebut.

Masih banyak PR yang menanti untuk diselesaikan, dan salah satu peran aktif yang bisa kita lakukan tentu dengan memiliki kesadaran pentingnya cek dini untuk mendeteksi kanker. 
~World Cancer Day~
Supporting the fighters - Admiring the survivors – Honoring the taken – Never giving up hope