Friday, July 10, 2020

Venous Thromboembolism (VTE) Risk during Stay-at-Home


Venous Thromboembolism (VTE) Risk during Stay-at-Home

Halo semuanya! Semoga kita masih bisa bersabar ya menahan diri untuk tidak banyak kumpul kumpul atau keluar yang tidak perlu saat ini.  Kasus di Jepang secara keseluruhan kembali naik, dan kali ini banyak didominasi dari usia muda 20-30 tahunan dengan gejala ringan atau tanpa gejala. Jangan lupa, SARS-CoV-2 ini belum hilang, dan pasien tanpa gejala bisa menularkan. Selain itu, usia 20-30 tahunan ini seusia mahasiwa, atau pekerja aktif yang biasanya banyak memakai transportasi umum.
 Oh ya, meski kasus banyak didominasi dari nightlife business, bukan berarti yang tidak ke sana aman sentosa. Musuh kita ini tidak kelihatan, dan akan dengan cepat menyebar luas. National Center for Global Health and Medicine (NCGM) sempat mengeluarkan tweet  (7/7) kalau di Shinjuku-ku jumlah orang yang menerima PCR test melonjak hingga 167 kasus-the highest ever-; dan positive rate PCR test minggu lalu juga hampir mencapai 40% seperti saat sebelum emergency state.
Perjuangan kita masih panjang dan kita harus adaptasi dengan perubahan pola kehidupan sehari hari. Jadi kali ini saya mau menulis tentang salah satu risiko kesehatan yang mungkin timbul karena perubahan aktivitas selama masa pandemik ini yaitu VTE (Venous Thromboembolism)

1. Apa itu VTE (Venous Thromboembolism)?
VTE merupakan gejala penyakit yang ditandai dengan adanya “thromboembolism” - sumbatan di pembuluh darah dari bekuan darah yang terlepas dan ikut dalam sirkulasi peredaran darah. Karena bekuan darah ini terjadi di pembuluh darah balik (vena), jadilah disebut VTE.  VTE sendiri dibagi lagi menjadi 2 tipe: DVT (Deep Vein Thrombosis) dan Pulmonary Embolism (PE)
DVT, biasanya disebabkan adanya bekuan darah yang terbentuk di vena dalam, sering di tungkai kaki atau paha. Jika bekuan darah ini lepas dan naik ke atas (jangan lupa ini terjadi di pembuluh darah balik ke jantung/paru) bisa menyebabkan sumbatan di pembuluh darah paru paru, yang kemudian disebut PE.

2. Gejala apa yang timbul?
Adanya sumbatan di vena kaki, DVT, bisa menimbulkan gejala antara lain: sakit, kulit merah, terasa hangat ,bengkak, di area kaki yang terkena.
Jika sumbatan lepas dan terjadi PE, gejala yang bisa timbul: sakit dada, sesak nafas, atau nafas jadi cepat pendek (rapid shallow breathing-tachypnea), detak jantung tidak beraturan, dan pasien bisa kehilangan kesadaran.  PE bisa berakibat fatal.

3.  Kenapa bisa terjadi DVT-PE?
DVT bisa timbul karena posisi statis jangka waktu lama. Contohnya, pasien yang sulit bergerak pasca operasi, pasien yang kondisinya harus tiduran/duduk dalam jangka waktu lama, termasuk duduk lama saat penerbangan panjang (long airplane flight). Itu sebabnya, pasien pasca operasi biasanya pakai compression stockings, dan tergantung kondisi, biasanya dianjurkan segera rehabilitasi. 
Mungkin banyak yang pernah dengar, tentang “economy class syndrome”. Ini tidak lain juga  DVT, yang terjadi karena posisi duduk lama di pesawat, terutama di kelas ekonomi dimana ruang untuk menggerakkan kaki tidak luas.  Sudah sering terdengar kasus dimana penumpang pesawat mendadak lumpuh, sesak nafas, kehilangan kesadaran ,dsb., tidak lama setelah turun  pesawat dan diduga disebabkan DVT-PE. Tidak hanya kejadian langsung, beberapa laporan menunjukkan gejala DVT-PE bisa terjadi beberapa jam, beberapa hari, sampai beberapa bulan kemudian setelah penerbangan panjang. [Ref1]

4. Apa hubungannya DVT-PE dengan masa pandemic Covid-19?
Kebijakan stay-at –home selama pandemik  membuat kita cenderung untuk tidak aktif bergerak, WFH (Work from Home) duduk lama berjam jam di depan computer sambil kerja, atau depan TV sambil nonton serial drakor misalnya, bisa beresiko meningkatkan terjadinya thromboembolism.  Risiko tentang ini sudah mulai dikemukakan di majalah atau journal kesehatan;
“Amid coronavirus, Cushman said she’s mainly worried about venous thromboembolism. That’s when blood clots form in the veins and can lead to part of the clot traveling to the lungs and causing blockage, also called a pulmonary embolism. The symptoms can include chest pain and shortness of breath” – Dr. Mary Cushman, professor of medicine and pathology-University of Vermont. [Ref2]
“We recommend to raise awareness of preventive measures to prevent VTEs, especially lethal PEs, as part of the stay-at-home policy” [Ref3]

5.  Apa benar jika tubuh ‘immobile’ dalam waktu lama bisa beresiko menimbulkan DVT-PE?
Berdasarkan laporan laporan yang ada, jawaban saat ini, iya.  Tahun 2010, ada penelitian dari Wellington Hospital (New Zaeland)-melibatkan 197 kasus – yang menyimpulkan ada kaitan jelas antara “prolonged work-and computer-related seated immobility” dengan risiko terjadinya VTE.  Faktor risiko lainnya bisa dilihat di tabel yang saya lampirkan [Ref4].
Tahun 2018, ada laporan dari Jepang tentang kasus VTE setelah adanya gempa di Kumamoto tahun 2016. Saat itu karena khawatir dengan adanya aftershocks di malam hari, banyak orang yang memilih tidur di dalam mobil. Dan ternyata, dari data pasien yang masuk ke RS dan butuh perawatan terkait VTE, mereka berasal dari kelompok yang memilih tidur di dalam mobil pasca gempa.
“Of the 51 enrolled patients, 42 (82.4%) spent a night in a vehicle” ; “the presence of pulmonary thromboembolism (PTE) was significantly higher in the night-in-vehicle group.” [Ref5]

6. Bagaimana mengurangi resiko terjadinya VTE  karena perubahan aktivitas harian saat ini?
- Usahakan bergerak. Setelah satu jam duduk non-stop, bisa 5 menit stretching ringan, atau jalan ambil minum di dapur misalnya. Cukup minum juga baik untuk kesehatan tubuh
- Usahakan ada ruang gerak untuk kaki yang nyaman selama bekerja. Jangan terus menerus kaki dilipat/ditekuk
- Usahakan tetap menjaga kebugaran tubuh, jaga berat badan, gerakkan badan/olahraga teratur.

PS: Tips untuk ibu ibu di rumah, kalau suaminya WFH dan anteng lama depan computer, coba sering sering minta tolong cuci piring, buang sampah, belanja sebentar, masak dsb. Biar ada gerak badan sedikit dan hati kita juga senang urusan rumah ikutan beres.

“Don’t Panic – Stay Alert – Get Informed, and Be Wise”
Tokyo, 9 Juli 2020



References:
[1] DUSSE, Luci Maria SantAna et al. Economy class syndrome: what is it and who are the individuals at risk?. Rev. Bras. Hematol. Hemoter. [online]. 2017, vol.39, n.4 pp.349-353. 
[2]USA Today Health: https://www.usatoday.com/story/news/health/2020/04/08/coronavirus-inactivity-health-experts-tips-self-care-quarantine/2967723001/
[3] Rapid Response: COVID-19: Stay-at-Home Policy and Risk of Venous Thromboembolismhttps://www.bmj.com/content/368/bmj.m800/rr-21
[4] Healy, Bridget et al. “Prolonged work- and computer-related seated immobility and risk of venous thromboembolism.” Journal of the Royal Society of Medicine vol. 103,11 (2010): 447-54. doi:10.1258/jrsm.2010.100155
[5] Sueta D, Hokimoto S, Hashimoto Y, et al.  Kumamoto Earthquake Thrombosis and Embolism Protection (KEEP) Project Investigators. Venous Thromboembolism Caused by Spending a Night in a Vehicle After an Earthquake (Night in a Vehicle After the 2016 Kumamoto Earthquake). Can J Cardiol. 2018;34:813.e9-813.e10.

Evaluasi Keadaan Darurat pada Anak



Evaluasi Keadaan Darurat pada Anak




Emergency state di Jepang sudah dicabut (May25) dan kita mulai pelan pelan kembali beraktivitas ya. Saya rasa banyak yang perasaannya campur aduk antara senang anak anak sekolah lagi, kerja lagi, bisa punya “me time” lagi; tapi juga ada perasaan takut, tegang, senewen karena lebih ribet mesti antisipasi sana sini, dsb. Apalagi kita yang punya anak kecil, biasanya anak kecil lebih mudah sakit kalau sudah masuk sekolah atau daycare; dan sekarang kita mesti tambah waspada lagi dengan adanya Coronavirus.


Kali ini saya mau share tentang cara praktis evaluasi keadaan darurat pada anak anak. Informasi ini resmi dikeluarkan dari The Japanese Society of Emergency Pediatrics (JSEP) beberapa hari yang lalu. Mungkin ibu ibu pernah merasa bingung saat anak sakit (apalagi dalam keadaan pandemik seperti sekarang), apakah perlu segera dibawa ke RS atau dokter, apakah perlu panggil ambulans, atau ah ini tidak apa, coba pantau dulu sebentar keadaannya, dsb. Menurut protokol yang dikeluarkan, pada saat anak sakit yang penting bukan mengejar apa diagnosa penyakitnya, tapi kemampuan kita untuk menilai apakah keadaan si anak darurat dan perlu segera mendapatkan penanganan atau tidak.


Saya coba tuliskan ke dalam bahasa Indonesia, panduan praktis (dalam bentuk tabel) untuk membantu kita lebih mudah evaluasi dan menentukan tindakan yang diperlukan dengan melihat kondisi/gejala yang ada pada si anak. Ada 9 kondisi dasar klinis yang bisa dilihat, dan setiap kondisi dibagi dalam 4-5 skala point/skor; semakin tinggi point-nya semakin tinggi urgensi untuk segera mendapatkan penanganan. Selain itu, ada tambahan 3 kondisi lain jika ada kejadian di luar perkiraan seperti misalnya saat anak jatuh, luka, kena alergi, dsb.
Pada anak berusia 3 bulan ke atas, jika memenuhi keadaan di bawah ini, pertimbangkan untuk mendapatkan penanganan darurat tergantung situasi yang ada.
1. Meskipun hanya satu kondisi, tapi jika ada gejala yang mencapai skala 5 segera panggil ambulance.
2. Jika ada kondisi yang mencapai skala 3, meskipun hanya satu kondisi, sebaiknya segera bawa anak untuk cek lebih lanjut.
3. Jika kondisi dengan skala 3 bertambah satu lagi, perlu penanganan gawat darurat. Jika sampai bertambah lebih dari dua kondisi, segera panggil ambulance.
4. Jika kondisi dengan skala 2 bertambah banyak, atau kondisinya tidak membaik dan berkelanjutan, sebaiknya bawa anak untuk cek lebih lanjut.





Pada anak di bawah usia 3 bulan, jika orang tua (保護者) melihat ada kondisi yang rasanya tidak beres, sebaiknya segara penanganan gawat darurat. Selain itu tidak hanya tergantung umur jika ada kondisi darurat seperti kejang, mendadak anak tidak ada respon, tidak bisa bernafas, dsb. Dan kita sebagai orang tua melihat kondisi ini tidak beres [これは大変だ], tidak perlu pikir panjang lagi, segera ambil penanganan gawat darurat.


Oh ya, jangan lupa juga, meskipun kita tidak tahu nama penyakit, atau kita juga tidak punya pengetahuan medis, jangan panik dan khawatir. Sebagai orang tua yang paling dekat dengan si anak, tentu kita yang paling bisa memantau dan menilai kondisi anak kita sendiri dengan baik.


Saya cantumkan juga nomor yang bisa dihubungi di Jepang jika darurat ingin konsultasi kondisi kesehatan anak.


困ったときの相談窓口
電話
- 子供医療相談事業 (#8000)
- 救急安心センター事業 (#7119) *未実施地域があり
インターネット・スマホアプリ
- 子供の救急 (ONLINE QQ): 日本小児科学会
- 全国版救急受診 (Q 助): 総務省・消防庁
Semoga info ini bisa berguna untuk yang membutuhkan J Jika ada yang ingin download pdf file asli (bahasa Jepang) mengenai hal ini, bisa ambil dari:
http://www.convention-axcess.com/jsep/2020-manual.html


“Don’t Panic – Stay Alert – Get Informed, and Be Wise”


Tokyo, 6 Juni 2020