Monday, April 27, 2009

Bird flu? Hong Kong flu? Singapore flu? Mexico Flu?... What else?




Bird flu? Hong Kong flu? Singapore flu? Mexico Flu?... What else?

Dalam 2 hari belakangan ini, televisi Jepang ramai memberitakan adanya outbreak baru, Mexico flu. Di Narita airport, semua penumpang yang berasal dari Mexico dan Amerika harus melalui pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu sebelum boleh memasuki Jepang, dan tour tour dengan tujuan Mexico juga terpaksa harus dibatalkan. Mendengar berita ini, saya jujur jadi bingung.... rasanya belakangan ini macam macam jenis flu baru ramai diberitakan, sampai sayapun sudah tidak mengerti lagi mana yang berbahaya, mana yang flu biasa dan sebagainya. Jadi saya putuskan, saya coba tulis saja deh, berharap kebingungan saya (dan mungkin pembaca lainnya) bisa sedikit terpecahkan.

Pertama kita harus menyadari dulu, bahwa sebenarnya influenza (atau biasa disingkat flu) berbeda dengan common cold. Meskipun keduanya mempunyai gejala yang sepintas mirip dan sukar dibedakan, influenza dan common cold disebabkan oleh virus yang berbeda. Influenza disebabkan oleh influenza virus (ada 3 tipe influenza virus), sedangkan common cold umumnya disebabkan oleh rhinovirus (bahaya Yunani, “rhin”, berarti: “nose”). Gejala common cold umumnya juga lebih ringan daripada influenza, tidak sampai menyebabkan komplikasi radang paru misalnya, dan tidak membuat penderita sampai harus masuk dirawat di RS. Sebaliknya gejala influenza lebih berat dan munculnya genetic material baru dari virus influenza inilah yang menyebabkan adanya kepanikan dan ketakutan akan wabah global (pandemic).

Influenza virus mempunyai RNA (RiboNucleic Acid) sebagai genetic materialnya dan virus ini cepat sekali bermutasi karena ia tidak mempunyai enzim yang bisa memperbaiki jika seandainya ada kesalahan dalam pembacaan genetik material dalam tubuhnya. Kemampuan influenza virus untuk selalu bermutasi inilah yang menyebabkan vaksin influenza tidak bisa hanya diterima 1 kali seumur hidup tapi harus selalu diberikan setiap tahun, karena setiap tahun juga vaksin harus dibuat dengan menyesuaikan genetik material dari virus yang sedang mewabah di tahun itu. Influenza virus dibagi menjadi 3 tipe, A, B dan C. Influenza virus tipe A dan B-lah yang biasanya bertanggung jawab menyebabkan wabah flu setiap tahunnya (seasonal influenza), sedangkan tipe C biasanya hanya menyebabkan gejala flu ringan dan jarang menyebabkan wabah. Untuk pandemic influenza yang belakangan ini merebak, tipe A influenza virus yang menjadi penyebab utamanya.

Tipe A influenza virus bisa dibagi lagi dalam beberapa strain, tergantung dari kombinasi 2 jenis protein yang terdapat di permukaan si virus, hemagglutinin (H) dan neuraminidase (N). Ada 16 jenis hemagglutinin dan 9 jenis neuraminidase, dan berdasarkan inilah tipe A influenza virus sendiri dibedakan strain-nya. Strain influenza virus tipe A yang saat ini diketahui menyerang manusia adalah H1N1, H1N2 dan H3N2. Strain H1N1 ini menyebabkan pandemic di tahun 1918 yang dikenal dengan “Spanish flu”. Berdasarkan wikipedia, virus ini dikatakan sanggup membunuh hingga 25 juta orang hanya dalam waktu 25 minggu sejak terjadinya wabah (bandingkan dengan virus HIV/AIDS yang juga membunuh 25 juta orang tapi dalam 25 tahun). Begitu cepatnya virus menyebar dan membunuh sekian banyak orang menyebabkan pandemic ini digambarkan sebagai “the greatest medical holocaust in history”.

Selain menyerang manusia, tipe A influenza virus juga diketahui menyerang hewan seperti angsa, burung, ayam, anjing, kuda, babi bahkan juga ikan paus (yang terakhir ini, saya juga baru tahu .....). Influenza virus pada burung dikenal dengan nama avian influenza (bird flu). Strain avian flu yang umum menyerang burung, cepat sekali menyebar dan bisa menyebabkan kematian pada burung yakni strain H5N1. Strain ini jarang sekali menyerang manusia dan kalaupun menyerang manusia, biasanya karena kontak erat dengan burung yang sudah terinfeksi virus H5N1 tersebut. Outbreak virus H5N1 di manusia, mulai mendapat perhatian sejak kasus adanya satu keluarga yang terinfeksi di Thailand (2004), disusul di Vietnam (2004-2005), dan Indonesia (2006-sekarang). Pada kasus di Indonesia, penyebaran infeksi tidak hanya karena kontak langsung dari burung ke manusia, tapi juga ditemukan adanya kemungkinan penyebaran dari manusia ke manusia yang menyebabkan kasus ini mendapat perhatian khusus dari banyak organisasi kesehatan dunia. Ada seorang teman saya yang kebetulan saat balik ke Jepang setelah pulang kampung sedang flu berat, dan demam. Segera diperiksa di Jepang, dan diketahui terinfeksi influenza virus tipe A. Meskipun tidak diperiksa lebih lanjut kepastian strain virus-nya, tapi ia sudah diwajibkan mengkonsumsi Tamiflu, dilarang berpergian keluar rumah sementara waktu, dan dipantau kesehatannya oleh badan kesehatan setempat sampai sembuh total. Salut dengan sikap protektif pemerintah Jepang disini.

Hong Kong flu atau lebih dikenal SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) sebenarnya bukan disebabkan oleh influenza virus, melainkan oleh SARS-coronavirus. Kasus SARS dimulai di Cina (akhir 2002), meninggalnya seorang pasien karena SARS ditutupi oleh pemerintah Cina sehingga terjadi outbreak di tahun 2003 dan dengan cepat SARS menyebar ke Hong Kong, Taiwan sampai Canada. SARS terutama fatal jika menyerang orang lanjut usia. Hingga kini, SARS masih dipantau dan berbagai riset terus berlangsung untuk menemukan pengobatan atau vaksin yang efektif untuk SARS.

Singapore flu, ….nah ini saya tidak tahu dimana letak kesalahannya. Saya sempat berpikir ini kembali terjadi outbreak SARS atau strain virus flu baru yang menimbulkan pandemic di Singapura. Ternyata setelah cek sana sini lebih lanjut, yang dimaksud dengan Singapore flu adalah penyakit tangan, mulut dan kuku (Hand Foot and Mouth Disease/HMFD) yang sama sekali berbeda dan tidak ada sangkut pautnya dengan influenza! Entah kenapa media Indonesia bisa menyebutnya Singapore flu, sungguh ini sangat tidak mendidik, dan menyesatkan masyarakat awam. Saya tidak akan membahas lebih lanjut si “Singapore flu” ini.

Strain virus influenza yang merebak baru baru ini adalah Mexico flu. Dari berita yang saya dengar hingga Senin pagi, 27 April 2009 (08.00 JST), korban yang meninggal karena virus ini mencapai 86 orang di Mexico dan sudah ada 20 orang yang juga terinfkesi di Amerika. Kasus yang sama juga sudah dilaporkan ditemukan di New Zealand, dan Canada. Kebanyakan mereka terinfeksi setelah melakukan perjalanan dari Mexico. Virus influenza ini memiliki strain H1N1, sama seperti kasus pandemic Spanish flu tahun 1918. Gawatnya, virus ini sudah bermutasi sehingga memiliki genetik material dari burung, babi dan sekaligus manusia. Di Mexico, sekolah sekolah dan tempat tempat umum ditutup sementara untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. Karena virus ini memiliki potensi besar menyebabkan pandemic, WHO sudah mengeluarkan larangan untuk tidak berpergian ke Mexico dan daerah daerah tertentu di Amerika. Sementara ini WHO masih menyatakan “pandemic alert phase 3” untuk kasus ini, sambil memantau perkembangan lebih lanjut. (silahkan baca di: http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/phase/en/index.html)

Outbreak Mexico flu ini juga mendapat perhatian luas karena berpotensi untuk menyebar dari manusia ke manusia. Berdasarkan investigasi, ditemukan pasien yang terinfeksi virus H1N1 ini justru tidak ada riwayat kontak langsung dengan burung, unggas, babi atau hewan peternakan lainnya. Selain itu, tidak seperti umumnya infeksi virus influenza yang berakibat fatal pada orang lanjut usia, infeksi virus baru ini justru berakibat lebih fatal pada orang orang muda yang masih sehat! Masih diselidiki lebih lanjut tentang hal ini. Oh ya satu lagi, virus ini tidak menular melalui makanan. Jadi tidak akan menular bila memakan ayam, babi dan sebagainya selama semua bahan makanan itu juga diolah dan dimasak dengan baik.

Ada lagi yang saya khawatirkan. Saat semua negara dengan cepat bertindak melakukan tindakan pencegahan terbaik agar virus ini tidak menyebar ke negaranya. Bahkan perdana menteri Jepang, Aso, juga sudah keluar di TV memberi pernyataan bahwa pemerintah akan melakukan yang terbaik untuk melindungi warga negaranya. Di Indonesia…., susahnya mencari berita flu Mexico ini dan sepertinya baru ditanggapi dengan memberikan surat edaran kewaspadaan dini (sampai tulisan ini di-upload, Senin 26 April, 13.00 JST, berita: http://www.kompas.com/read/xml/2009/04/26/2124305/Depkes.Waspadai.Flu.Babi).

Yah apa boleh buat, kita harus memproteksi diri kita sendiri. Jangan sungkan memakai masker jika berpergian ke daerah yang rawan (peternakan misalnya), kontak dengan penderita flu atau bila kita sendiri sedang flu. Selain untuk kebaikan diri sendiri, ini juga untuk mencegah penularan ke orang orang di sekitar kita. Tutup mulut/hidung ketika batuk/bersin dan jangan lupa selalu mencuci tangan sesudahnya. Jangan buang dahak/ludah sembarangan. Sedapat mungkin hindari kontak dengan penderita flu, dan jika kita sendiri flu, jangan dipaksakan bekerja masuk kantor/sekolah, toh tidak bisa berkonsentrasi baik dalam pekerjaan tapi malah membuat si virus menyebar di antara rekan rekan kita sendiri.

Semoga apa yang saya tulis bisa bermanfaat. Setidaknya dengan mengerti dan mengetahui apa yang sedang kita hadapi bisa membuat kita lebih “siap tempur” menghadapai si influenza ini.

Salam sehat,
Kathryn-Tokyo

References:
- http://www.cdc.gov/flu/about/disease/index.htm
- http://www.cdc.gov/swineflu/investigation.htm
- http://www.medicinenet.com/influenza/article.htm
- http://en.wikipedia.org/wiki/Influenza
- http://news.bbc.co.uk/today/hi/today/newsid_8017000/8017958.stm
- http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/phase/en/index.html
- http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/04/26/AR2009042602827.html

Friday, April 24, 2009

Male Predominance in Liver Cancer




Male Predominance in Liver Cancer

Sebenarnya topik ini sudah lama ingin ditulis, tapi akhirnya tertunda terus. Sekarang setelah artikel kanker payudara dan kanker paru keluar, baru deh rasanya pas mengeluarkan artikel yang satu ini.
Kanker payudara:
http://charmedkath.blogspot.com/2009/01/womens-nightmare-breast-cancer.html
Kanker paru:
http://charmedkath.blogspot.com/2009/02/mens-killer-lung-cancer.html


Seperti yang kita tahu, baik pria maupun wanita sama sama berpotensi menderita kanker. Tergantung dari perbedaan organ yang dimiliki, tentu siapa yang memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita kanker juga berbeda. Kanker payudara, kanker rahim, misalnya, ya tentu wanita lebih beresiko tinggi daripada pria. Sedangkan kanker prostat, kanker testis sudah pasti pria yang beresiko tinggi. Nah, lalu bagaimana dengan organ organ yang sama sama dimiliki baik oleh pria maupun wanita seperti liver atau paru misalnya? Tanpa sengaja 2 tahun lalu saya menemukan artikel menarik yang membahas hal ini pada kanker liver dan finally, setelah 2 tahun kemudian baru saya bisa berbagi cerita dengan menulisnya.

Berdasarkan data statistik dan terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, secara umum pria memang lebih beresiko terhadap kanker dibandingkan wanita. Berikut ini beberapa contoh perbedaan ratio terjadinya kanker pada pria dan wanita di beberapa organ yang sama sama dimiliki keduanya (sumber data dicantumkan di references):
- Kanker paru (pria:wanita = 12:1)
- Kanker liver (3-5 kali lebih tinggi pada pria dibanding wanita)
- Kanker empedu (77% terjadi pada pria)
- Kanker esophagus (pria:wanita = 7:1)
- Kanker nasopharingeal (pria:wanita = 2.3:1)
- Kanker colon/usus besar (pria:wanita = 1.2:1)

Pada kanker paru, penyebab utamanya adalah merokok. Bisa dibilang angka kejadian yang tinggi pada pria dibandingkan pada wanita, karena memang kecenderungan untuk merokok juga lebih tinggi pada pria. Akhir akhir ini ketika rokok juga mulai menjadi trend pada wanita (mungkin karena imbas emansipasi wanita), angka kejadian kanker paru juga mulai meningkat pada wanita. Selain kanker paru, pada kanker liver juga pria beresiko lebih tinggi dari wanita dan gawatnya, di sini tidak ada terdakwa utama yang jelas jelas bisa disalahkan seperti merokok.

Pada kanker liver, faktor resiko utama adalah infeksi yang bisa menyebabkan peradangan pada sel liver. Infeksi pada liver bisa berasal dari hepatitis B virus (HBV) atau hepatitis C virus (HCV), alcoholic liver disease, nonalcoholic steatohepatitis (NASH) atau bahkan jamur (Aspergillus flavus). Infeksi ini bisa terjadi baik pada pria maupun pada wanita, tetapi kecenderungan infeksi berkembang dan akhirnya berlanjut menjadi kanker liver memang lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Tidak hanya itu, angka kematian yang disebabkan oleh kanker liver ini juga lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita, dan semakin jelas perbedaannya seiring dengan meningkatnya umur penderita seperti terlihat pada grafik di bawah ini.






Artikel yang saya temukan ini, mencoba mencari tahu apa perbedaan pada pria dan wanita sehingga si kanker liver lebih cenderung terjadi pada pria. Dan ternyata tidak hanya manusia, tikus juga memiliki kecenderungan yang sama. Peneliti pada artikel ini menemukan bahwa, zat karsinogen (chemical carcinogenesis) yang diberikan pada tikus, mengakibatkan timbulnya kanker liver pada semua 100% tikus jantan, sedangkan hanya 10-30% tikus betina yang lalu juga menderita kanker liver.

Melalui serangkaian percobaan lebih lanjut, ditemukan ada suatu zat yang dihasilkan dari infeksi liver yang terjadi, yang ternyata konsentrasinya tinggi sekali pada tikus jantan dibandingkan tikus betina. Mereka membuktikan, jika zat ini dihilangkan dari tubuh tikus jantan, incidence terjadinya kanker liver bisa dikurangi hingga 90%. Menariknya, zat yang satu ini ternyata, bisa dikurangi kadarnya dengan pemberian estradiol (hormon estrogen pada wanita)! Jika betul begitu, tidak heran pria lebih rentan terhadap kanker liver …karena memang konsentrasi hormon estrogen lebih tinggi pada wanita ketimbang pria. Ini juga sejalan dengan riset sebelumnya dimana pengangkatan ovarium (ovariectomi) sebagai penghasil utama hormon estrogen dan sebaliknya pemberian hormon pria testosterone justru secara signifikan meningkatkan incidence terjadinya kanker liver.

Meski masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dari riset riset tersebut, hasil riset ini sudah membuka alternatif baru untuk pengobatan kanker liver. Selain itu, hasil riset ini juga menunjukkan adanya kemungkinan kalau prinsip yang sama bisa diterapkan juga pada kanker di organ organ lain dimana pria lebih beresiko ketimbang wanita.

Sedikit melenceng dari topik. Kemajuan ilmu kedokteran seperti penemuan di atas, berasal dari riset. Bidang riset yang masih di anak tirikan dan dipandang sebelah mata di negara tercinta kita, membuat negara kita selalu ketinggalan dan tidak bisa menjadi yang terdepan dalam pengobatan. Seorang teman baik suami saya, nyawanya terselamatkan berkat riset. Dalam pemeriksaan kesehatan rutin ketika ia bersekolah dulu, tanpa sengaja ditemukan kanker getah bening stadium lanjut. Dokter yang memeriksa mengatakan, harapan hidup sudah sedikit, paling paling usianya tinggal hitungan bulanan.

Untungnya, ia mendapat tawaran dari RS tempat ia berobat untuk mencoba pengobatan hasil riset yang baru akan diuji cobakan secara klinis. Kebetulan RS tersebut merupakan salah satu RS universitas (daigaku byouin) yang terkenal di Jepang dan sekaligus juga pusat riset. Karena masih tahap uji coba, semua biaya pengobatan gratis. Akhirnya ia memutuskan menerima tawaran tersebut. Dan hasilnya ...., ia berhasil melanjutkan pendidikan sampai selesai S2 di Jepang, melanjutkan S3 ke Amerika, menikah, dan dikaruniai anak kembar. Sebagai ungkapan rasa syukur atas kesembuhannya, ia memberikan beasiswa untuk anak anak yang tidak mampu di kota kelahirannya di Indonesia.

Sejak bertemu dengannya, mata saya terbuka lebar tentang manfaat dan pentingnya riset. Di tempat saya sekarang juga, klinis dan riset berkolaborasi secara optimal berusaha untuk selalu menemukan yang terbaik dan yang terbaru untuk pasien. Sudah hal biasa di tempat saya untuk meeting bersama antara dokter klinis dan researchers. Bahkan banyak dokter yang sepenuh hati, meninggalkan tugas klinis dan berkutat dengan riset untuk menemukan pengobatan terbaru.

Salah satu hasil riset yang terkenal dalam bidang medis adalah Gleevec/Imatinib, obat leukemia (chronic myeloid leukemia/CML-type) yang berbentuk tablet dan bisa dikonsumsi secara oral. Tahun 2001, hasil penelitian dr. Brian J. Druker ini disahkan oleh badan kesehatan Amerika FDA untuk resmi digunakan dalam pengobatan klinis. Sungguh penemuan Gleevec ini merupakan terobosan baru dalam pengobatan kanker. Tidak terbayangkan sebelumnya, segala macam kemoterapi yang menyiksa pasien bisa digantikan dengan hanya meminum tablet obat! Saya beruntung mendapat kesempatan mendengarkan kisah riset sang dokter ketika ia berkunjung untuk menerima penghargaan dari universitas saya (menurut cerita yang beredar, biasanya penerima award dari universitas saya, kelak juga menerima hadiah Nobel. Jadi saya segera minta foto bareng sang dokter, berharap siapa tahu bisa ketularan nasib baiknya). Beritanya bisa dibaca disini:
http://www.ohsu.edu/ohsuedu/newspub/releases/100807keio.cfm

Berkaitan dengan topik semula, semoga riset yang sedang berlangsung benar benar kelak bisa membuahkan satu langkah maju dalam pengobatan kanker liver. Selain itu, saya juga berharap tulisan ini bisa sedikit membuka mata kita, menyadari pentingnya riset sebagai aset berharga suatu negara. Kemampuan berpikir inovatif, ketekunan, kejujuran dan disiplin dalam riset membuat Jepang bisa selalu menjadi yang terdepan dalam menghasilkan produk produk baru dan menjadi negara maju yang sudah tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya. Semoga kelak akan semakin banyak juga generasi muda Indonesia yang tidak lagi ragu memilih profesi sebagai periset karena merekalah yang akan jadi ujung tombak penentu kemajuan suatu negara.

Salam sehat,
Kathryn-Tokyo


References:
- Parkin DM, Bray F, et al. Global cancer statistics, 2002. CA Cancer J Clin 2005;55:74-108.
- National Cancer Center, Japan: http://www.ncc.go.jp/
- Naugler WE, Sakurai T, et al. Gender Disparity in Liver Cancer Due to Sex Differences in MyD88-Dependent IL-6 Production. Science 2007;317:121-124.
- Nakatani T, Roy G, et al. Sex Hormone Dependency of Diethylnitrosamine-induced Liver Tumors in Mice and Chemoprevention by Leuprorelin. Jpn J Cancer Res 2001;92:249-256.
- Gleevec information: http://www.gleevec.com/index.jsp