Thursday, July 23, 2020

A Brief Update on COVID-19 Treatment in Japan


A Brief Update on COVID-19 Treatment in Japan

Halo semuanya, situasi di Tokyo kembali tegang ya setelah jumlah kasus naik terus. Kebijakan pemerintah juga bisa berubah dengan cepat dari waktu ke waktu, jadi mau tidak mau kita juga harus selalu “alert” dengan perubahan situasi yang ada. 

Hampir seluruh sektor kehidupan sudah kena imbas dari pandemic COVID-19 ini. WHO sendiri sudah mengatakan dalam press conference di bulan May 2020, “this virus may become just another endemic virus in our communities and this virus may never go away”. [Ref1]

Saat ini memang kita berharap banyak dari hasil riset yang sedang berlangsung di seluruh dunia untuk menghasilkan pengobatan maupun menemukan cara baru mengatasi virus SARS-CoV-2 ini. Bagi yang sudah terbiasa riset tentu tahu, riset itu tidak mudah, apalagi ini menggunakan virus baru. Banyak kendala misalnya, perubahan protokol bahkan lokasi lab untuk mencegah kemungkinan penyebaran, metode pengambilan sample klinis yang harus menyesuaikan karakteristik virus ini, uji coba test kit yang cocok, target samples yang memenuhi syarat, dsb, sampai masalah ethics moral. Plus, ini menyangkut masalah yang sedang jadi perhatian seluruh dunia sehingga harus lebih berhati hati membaca dan menganalisa data sebelum mengeluarkan statement hasil riset. Tidak heran sudah ada beberapa paper tentang COVID-19 yang akhirnya ditarik kembali setelah resmi keluar publikasi.

Di tulisan ini saya berikan ringkasan beberapa perkembangan terkait pengobatan dan vaksinasi COVID-19 khususnya di Jepang.
1.  REMDESIVIR
Remdesivir (produksi Gilead Sciences, U.S) merupakan satu satunya obat COVID-19 yang saat ini sudah resmi digunakan untuk pengobatan COVID-19 di Jepang. – Approved by Ministry of Health, Labour and Welfare (MHLW) May 7, 2020 [Ref2]
Remdesivir ditujukan untuk pasien dengan gejala berat (critically ill patients).

2. AVIGAN (Favipiravir)
Awalnya pemerintah Jepang berencana untuk segera meresmikan penggunaan Avigan jika hasil uji coba klinis memenuhi syarat di akhir bulan Mei, sayangnya, saat itu jumlah pasien di Jepang menurun drastis sehingga target pasien tidak cukup. MHLW memperpanjang waktu uji coba dan saat ini penelitian masih berlangsung.
Avigan ditujukan untuk pasien dengan gejala ringan atau tanpa gejala/asymptomatic.
Fujita Health University (July 10, 2020) mengeluarkan pernyataan berdasarkan hasil studi mereka, bahwa tidak terlihat ada perbedaan yang signifikan antara group pasien yang diberikan Avigan segera di hari pertama dengan group pasien yang menerima Avigan lebih lambat di hari ke-6. [Ref3]
Metode riset yang digunakan maupun jumlah target pasien yang dipakai bisa berpengaruh terhadap hasil yang didapat, jadi saat ini masih menunggu hasil uji coba dari tempat lainnya.

3. OSAKA VACCINE
Osaka university bekerja sama dengan perusahan bioteknologi AnGes Inc., sudah memulai uji coba klinis tahap pertama untuk vaksinasi COVID-19 di Osaka City University Hospital – June 30, 2020. Riset ini dipimpin oleh Prof. Ryuichi Morishita dan saat ini melibatkan 30 orang partisipan. Jika vaksin tersebut lolos dinyatakan aman, mereka berencana melibatkan lebih banyak partisipan hingga 500 orang di bulan Oktober dan seandainya semua tahapan uji coba bisa dilalui dengan baik diharapkan vaksin ini bisa siap digunakan di Jepang pertengahan awal tahun 2021. [Ref4]
Vaksin yang dikembangkan di Osaka ini menggunakan plasmid DNA. Keuntungannya aman dan mudah diproduksi (cost-effective); tetapi kemampuan induksi imunitas cenderung lebih rendah dibandingkan menggunakan partikel atau virus hidup (inactivated or live-attenuated vaccine)

Vaksin COVID-19 yang saat ini mendapat perhatian internasional:
** MODERNA VACCINE
Vaksin buatan perusahaan bioteknologi Amerika, Moderna Inc. ini sesuai jadwal memasuki phase 3 trials di bulan Juli. Moderna vaksin merupakan salah satu kandidat kuat vaksin yang diharapkan bisa efektif mengatasi COVID-19.
Vaksin ini menggunakan messenger RNA, mRNA-1273, teknologi baru dalam metode pembuatan vaksin. Cara ini juga disebut lebih aman, dan lebih kecil kemungkinan kontaminasi atau integrasi genetik ke dalam host cells, tapi mRNA sendiri cenderung tidak stabil dan di luar uji coba klinis untuk COVID-19 saat ini, belum ada vaksin mRNA yang sudah resmi digunakan sebelumnya.
Dari berita terbaru-July 15,2020- sepertinya uji klinis Moderna memberikan hasil yang diharapkan. Pasien yang terlibat uji coba menunjukkan peningkatan antibody dengan titer yang sebanding dengan pasien COVID-19 yang sudah sembuh. [Ref5]

** AstraZeneca – OXFORD VACCINE
Kerjasama antara perusahaan obat AstraZeneca dan Oxford University juga menjadi salah satu yang terdepan dalam persaingan riset vaksin COVID-19 secara global. Di Brazil dan UK uji coba klinis menggunakan vaksin keluaran Oxford ini sudah memasuki tahap akhir. Afrika Selatan juga sudah memulai uji coba klinis menggunakan vaksin yang sama.
Vaksin mereka menggunakan recombinant adenoviral vector, AZD1222 (formerly, ChAdOx1 nCoV-19) yang dimodifikasi untuk membentuk spike S-protein dari SARS-CoV-2. Mudah dikonstruksi dan efektif menginduksi respon imun tubuh menjadi keunggulan dari metode ini. Metode yang sama juga digunakan untuk membuat vaksin terhadap SARS-CoV dan MERS-CoV. Salah satu kelemahannya, ada kemungkinan “pre-existing immunity” di masyarakat sehingga pemberian vaksin mejadi tidak efektif.
Menurut berita di media, uji coba klinis memberikan hasil yang menjanjikan dan laporan ilmiah akan segera dipublikasikan di The Lancet Medical Journal-a world leading medical journal. Oxford vaccine ini dikabarkan berhasil menginduksi “double defence” sistem imun tubuh dengan produksi antibodies, sekaligus T-cells (bagian dari sel darah putih) yang bisa melawan virus. [Ref6]
Pemerintah Jepang sendiri dikabarkan sudah menjalin komunikasi dengan pihak Moderna dan AstraZeneca untuk memastikan Jepang mendapatkan suplai yang cukup jika vaksin ini lancar memasuki tahap produksi. [Ref7]
--
Demikian ringkasan terkait perkembangan obat dan vaksin COVID-19. Semoga akan semakin banyak ya hasil riset lain yang menjanjikan dan bisa efektif diaplikasikan langsung. Sementara itu, mari kita bersabar dan tetap selalu hati hati dalam berkegiatan.



“Don’t Panic – Stay Alert – Get Informed, and Be Wise”
Tokyo, 17 Juli 2020


References:

Friday, July 10, 2020

Venous Thromboembolism (VTE) Risk during Stay-at-Home


Venous Thromboembolism (VTE) Risk during Stay-at-Home

Halo semuanya! Semoga kita masih bisa bersabar ya menahan diri untuk tidak banyak kumpul kumpul atau keluar yang tidak perlu saat ini.  Kasus di Jepang secara keseluruhan kembali naik, dan kali ini banyak didominasi dari usia muda 20-30 tahunan dengan gejala ringan atau tanpa gejala. Jangan lupa, SARS-CoV-2 ini belum hilang, dan pasien tanpa gejala bisa menularkan. Selain itu, usia 20-30 tahunan ini seusia mahasiwa, atau pekerja aktif yang biasanya banyak memakai transportasi umum.
 Oh ya, meski kasus banyak didominasi dari nightlife business, bukan berarti yang tidak ke sana aman sentosa. Musuh kita ini tidak kelihatan, dan akan dengan cepat menyebar luas. National Center for Global Health and Medicine (NCGM) sempat mengeluarkan tweet  (7/7) kalau di Shinjuku-ku jumlah orang yang menerima PCR test melonjak hingga 167 kasus-the highest ever-; dan positive rate PCR test minggu lalu juga hampir mencapai 40% seperti saat sebelum emergency state.
Perjuangan kita masih panjang dan kita harus adaptasi dengan perubahan pola kehidupan sehari hari. Jadi kali ini saya mau menulis tentang salah satu risiko kesehatan yang mungkin timbul karena perubahan aktivitas selama masa pandemik ini yaitu VTE (Venous Thromboembolism)

1. Apa itu VTE (Venous Thromboembolism)?
VTE merupakan gejala penyakit yang ditandai dengan adanya “thromboembolism” - sumbatan di pembuluh darah dari bekuan darah yang terlepas dan ikut dalam sirkulasi peredaran darah. Karena bekuan darah ini terjadi di pembuluh darah balik (vena), jadilah disebut VTE.  VTE sendiri dibagi lagi menjadi 2 tipe: DVT (Deep Vein Thrombosis) dan Pulmonary Embolism (PE)
DVT, biasanya disebabkan adanya bekuan darah yang terbentuk di vena dalam, sering di tungkai kaki atau paha. Jika bekuan darah ini lepas dan naik ke atas (jangan lupa ini terjadi di pembuluh darah balik ke jantung/paru) bisa menyebabkan sumbatan di pembuluh darah paru paru, yang kemudian disebut PE.

2. Gejala apa yang timbul?
Adanya sumbatan di vena kaki, DVT, bisa menimbulkan gejala antara lain: sakit, kulit merah, terasa hangat ,bengkak, di area kaki yang terkena.
Jika sumbatan lepas dan terjadi PE, gejala yang bisa timbul: sakit dada, sesak nafas, atau nafas jadi cepat pendek (rapid shallow breathing-tachypnea), detak jantung tidak beraturan, dan pasien bisa kehilangan kesadaran.  PE bisa berakibat fatal.

3.  Kenapa bisa terjadi DVT-PE?
DVT bisa timbul karena posisi statis jangka waktu lama. Contohnya, pasien yang sulit bergerak pasca operasi, pasien yang kondisinya harus tiduran/duduk dalam jangka waktu lama, termasuk duduk lama saat penerbangan panjang (long airplane flight). Itu sebabnya, pasien pasca operasi biasanya pakai compression stockings, dan tergantung kondisi, biasanya dianjurkan segera rehabilitasi. 
Mungkin banyak yang pernah dengar, tentang “economy class syndrome”. Ini tidak lain juga  DVT, yang terjadi karena posisi duduk lama di pesawat, terutama di kelas ekonomi dimana ruang untuk menggerakkan kaki tidak luas.  Sudah sering terdengar kasus dimana penumpang pesawat mendadak lumpuh, sesak nafas, kehilangan kesadaran ,dsb., tidak lama setelah turun  pesawat dan diduga disebabkan DVT-PE. Tidak hanya kejadian langsung, beberapa laporan menunjukkan gejala DVT-PE bisa terjadi beberapa jam, beberapa hari, sampai beberapa bulan kemudian setelah penerbangan panjang. [Ref1]

4. Apa hubungannya DVT-PE dengan masa pandemic Covid-19?
Kebijakan stay-at –home selama pandemik  membuat kita cenderung untuk tidak aktif bergerak, WFH (Work from Home) duduk lama berjam jam di depan computer sambil kerja, atau depan TV sambil nonton serial drakor misalnya, bisa beresiko meningkatkan terjadinya thromboembolism.  Risiko tentang ini sudah mulai dikemukakan di majalah atau journal kesehatan;
“Amid coronavirus, Cushman said she’s mainly worried about venous thromboembolism. That’s when blood clots form in the veins and can lead to part of the clot traveling to the lungs and causing blockage, also called a pulmonary embolism. The symptoms can include chest pain and shortness of breath” – Dr. Mary Cushman, professor of medicine and pathology-University of Vermont. [Ref2]
“We recommend to raise awareness of preventive measures to prevent VTEs, especially lethal PEs, as part of the stay-at-home policy” [Ref3]

5.  Apa benar jika tubuh ‘immobile’ dalam waktu lama bisa beresiko menimbulkan DVT-PE?
Berdasarkan laporan laporan yang ada, jawaban saat ini, iya.  Tahun 2010, ada penelitian dari Wellington Hospital (New Zaeland)-melibatkan 197 kasus – yang menyimpulkan ada kaitan jelas antara “prolonged work-and computer-related seated immobility” dengan risiko terjadinya VTE.  Faktor risiko lainnya bisa dilihat di tabel yang saya lampirkan [Ref4].
Tahun 2018, ada laporan dari Jepang tentang kasus VTE setelah adanya gempa di Kumamoto tahun 2016. Saat itu karena khawatir dengan adanya aftershocks di malam hari, banyak orang yang memilih tidur di dalam mobil. Dan ternyata, dari data pasien yang masuk ke RS dan butuh perawatan terkait VTE, mereka berasal dari kelompok yang memilih tidur di dalam mobil pasca gempa.
“Of the 51 enrolled patients, 42 (82.4%) spent a night in a vehicle” ; “the presence of pulmonary thromboembolism (PTE) was significantly higher in the night-in-vehicle group.” [Ref5]

6. Bagaimana mengurangi resiko terjadinya VTE  karena perubahan aktivitas harian saat ini?
- Usahakan bergerak. Setelah satu jam duduk non-stop, bisa 5 menit stretching ringan, atau jalan ambil minum di dapur misalnya. Cukup minum juga baik untuk kesehatan tubuh
- Usahakan ada ruang gerak untuk kaki yang nyaman selama bekerja. Jangan terus menerus kaki dilipat/ditekuk
- Usahakan tetap menjaga kebugaran tubuh, jaga berat badan, gerakkan badan/olahraga teratur.

PS: Tips untuk ibu ibu di rumah, kalau suaminya WFH dan anteng lama depan computer, coba sering sering minta tolong cuci piring, buang sampah, belanja sebentar, masak dsb. Biar ada gerak badan sedikit dan hati kita juga senang urusan rumah ikutan beres.

“Don’t Panic – Stay Alert – Get Informed, and Be Wise”
Tokyo, 9 Juli 2020



References:
[1] DUSSE, Luci Maria SantAna et al. Economy class syndrome: what is it and who are the individuals at risk?. Rev. Bras. Hematol. Hemoter. [online]. 2017, vol.39, n.4 pp.349-353. 
[2]USA Today Health: https://www.usatoday.com/story/news/health/2020/04/08/coronavirus-inactivity-health-experts-tips-self-care-quarantine/2967723001/
[3] Rapid Response: COVID-19: Stay-at-Home Policy and Risk of Venous Thromboembolismhttps://www.bmj.com/content/368/bmj.m800/rr-21
[4] Healy, Bridget et al. “Prolonged work- and computer-related seated immobility and risk of venous thromboembolism.” Journal of the Royal Society of Medicine vol. 103,11 (2010): 447-54. doi:10.1258/jrsm.2010.100155
[5] Sueta D, Hokimoto S, Hashimoto Y, et al.  Kumamoto Earthquake Thrombosis and Embolism Protection (KEEP) Project Investigators. Venous Thromboembolism Caused by Spending a Night in a Vehicle After an Earthquake (Night in a Vehicle After the 2016 Kumamoto Earthquake). Can J Cardiol. 2018;34:813.e9-813.e10.