Sunday, August 15, 2021

Post Vaccination Antibody and Breakthrough Infection

 Post Vaccination Antibody and Breakthrough Infection

Akhirnya vaksin mulai jalan ya di Jepang dan bahkan sudah mulai banyak yang selesai terima komplit dua dosis.  Kali ini saya mau share cerita tentang antibody yang diharapkan terbentuk pasca vaksinasi COVID-19.

Saya ikut clinical trial untuk mengukur kadar antibody setelah vaksinasi. Jadi kami diambil darahnya sebelum vaksin dan kemudian secara teratur diambil lagi setelah vaksin komplit. Saya terima vaksin pertama dan kedua selesai bulan Maret 2021, menggunakan vaksin Pfizer. Jadi sharing cerita saya ini berdasarkan data pribadi, dan referensi untuk Pfizer.

Saat ini memang mengukur kadar antibody pasca vaksinasi belum dianjurkan ya oleh MHLW karena vaksin yang digunakan di Jepang dipercaya efektif sehingga tanpa perlu test masing-masing individual, kadar titer antibody bisa dianggap naik. Selain itu antibody kits dan patokan yang dipakai beragam sehingga penilaian satu sama lain bisa berbeda. [Ref1]

Di tempat saya antibody kits yang dipakai juga sudah divalidasi terlebih dahulu dan sudah diambil referensi patokan untuk nilai ambang batas (cut-off value) kadar antibody yang dianggap positif dan negatif. Kadar yang diukur adalah anti SARS-CoV-2 spike receptor binding domain (RBD) Immunoglobulin G (IgG)

Kadar titer IgG terlihat meningkat pada seluruh partisipan dengan nilai tertinggi (peak) pada minggu ketiga pasca vaksinasi kedua. Setelah itu bertahap menurun hingga pengukuran pada tiga bulan pasca vaksinasi. Meski bertahap menurun, kadar titer antibody yang terlihat masih lebih tinggi di atas ambang batas nilai. Hasil studi terbaru dari UK juga menunjukkan adanya penurunan antibody bertahap pasca suntikan kedua vaksinasi Pfizer [Ref 2].

Selain itu juga terlihat kalau partisipan yang mengalami reaksi efek samping yang cukup berat pasca vaksinasi memiliki kadar antibody yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Reaksi efek samping ini lebih banyak dirasakan oleh wanita dan memang peningkatan antibody terlihat lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.

Saya sendiri termasuk yang mengalami efek samping minimal, tanpa demam maupun reaksi sistemik lainnya. Meski titer antibody saya agak lebih rendah dari rata-rata peak titer IgG keseluruhan tapi masih jauh naik di atas ambang batas, melebihi perkiraan saya sendiri. [Fig1]

Mungkin kemudian ada yang merasa hopeless. Sudah vaksinasipun bakal turun juga antibody nya.

à Ya bikin kecewa sih, tapi tidak mengherankan. Sejak dulu vaksinasi anak-anak juga hampir semua perlu diulang untuk menginduksi imunitas yang lebih baik. MMR, DPT, pneumonia, hepatitis, dsb. Jadi ini fenomena yang cukup biasa dalam dunia imunologi.  Tidak gampang memang induksi “lifelong immunity” dengan vaksinasi yang bahkan targetnya ini virus yang rutin bermutasi.

Sampai saat ini berapa lama imunitas akan bertahan, sampai berapa jauh akan turun, belum ada final jawaban yang pasti. Vaksinasi paling cepat baru dimulai akhir tahun 2020 lalu, jadi baru akan menjelang setahun pada akhir tahun ini. Sabar ya pemirsa, saya juga belum bisa jawab kalau ada pertanyaan apakah setahun kemudian vaksinnya harus diulang? Let’s wait and see.

Kami juga sedang melihat apakah vaksinasi bisa menginduksi T-cell immune response jangka panjang, dan saat ini sedang menunggu publikasi resmi. Data masih bergerak, saat ini semua sedang memantau dan mempertimbangkan kemungkinan vaksinasi ulangan.

Jadi apakah vaksin berguna?

à Nah kalau ini, jawabannya tentu dong. Vaksinasi adalah salah satu cara yang sudah terbukti bisa membantu eradikasi penyakit menular. Contohnya, penyakit smallpox (variola). Smallpox resmi dinyatakan berhasil dieradikasi di dunia pada tahun 1980 oleh WHO. [Ref 3]

Sekarang kita berharap vaksinasi COVID-19 juga bisa memberikan hasil yang sama, meski tantangannya jauh lebih besar. Kita juga sudah tahu gelombang ke-5 kali ini di Jepang, kasus infeksi maupun gejala berat lebih didominasi dari golongan muda dibandingkan dengan golongan lansia [Fig2]. Seperti juga banyak laporan dari luar Jepang, ini bisa dikatakan sebagai hasil baik dari vaksinasi. Di Tokyo usia 65 tahun keatas dengan dua kali vaksinasi sudah mencapai 80% - 13 Agustus 2021. [Ref4, 5] 


Lalu apakah setelah vaksinasi komplit pasti aman tidak terkena infeksi?

à Semua juga sudah tahu ya, jawabannya tidak. Ada istilah yang sekarang mulai ramai terdengar yaitu “breakthrough infection”. Ini adalah kejadian infeksi yang terjadi pada seseorang yang sudah mendapatkan vaksinasi komplit. Kasus seperti ini sebenarnya bukan hal baru, influenza contohnya, pasti biasa sering dengar ada yang kena influenza meski sudah menerima vaksin.

Penyebab breakthrough infection setelah vaksinasi COVID-19 masih banyak harus dipelajari. Setidaknya ada dua hal yang diduga berperan menjadi penyebab yakni:

- varian Delta yang saat ini sedang meluas penyebarannya. Sudah ada laporan studi yang menyatakan efek neutralisasi antibody terhadap strain delta menurun [Ref6]

- imunitas yang tidak bertahan lama sesudah vaksinasi. Ini seperti yang saya bahas di atas ya. Studi dari Israel, negara yang paling cepat menyelesaikan vaksinasi untuk penduduknya, menunjukkan kalau orang yang menerima suntikan kedua dari Pfizer lebih dari lima bulan cenderung beresiko tes positif dibandingkan mereka yang baru menyelesaikan vaksinasi. [Ref7] Di Jepang, setelah sebelumnya angka kasus baru di kalangan nakes turun, sekarang sudah ada laporan kembali nakes yang mengalami breakthrough infection. Begitupula di tempat saya, teman di satu bagian juga sudah ada yang kena.

---
Pasti semua sudah bosan ya, entah kapan selesai pandemik ini. Virus SARS-CoV-2 ini sepertinya memang tidak akan hilang dan akan hidup bareng bersama kita, tapi semoga dalam posisi yang bisa dikendalikan seperti halnya virus lainnya. Salah satu cara mengendalikan dengan mencegah penularan meluas: menahan mobilisasi, mematuhi protokol kesehatan sebaik mungkin, dan vaksinasi.

Saat ini kita semua sudah menemukan berbagai variasi cara adaptasi untuk bertahan di tengah pandemik. Bisa tetap “berkumpul” meski jauh, sudah tidak aneh lagi meeting dari rumah, jam kerja yang lebih fleksibel, kebiasaan menjaga sanitasi yang lebih baik, dsb

I believe we will have a much better world after we get through this pandemic nightmare.

頑張りましょう。

“Stay Safe, Get Informed, and Be Wise”

Tokyo, 15 Agustus 2021

Dr. Kathryn Effendi

 

References:

1. https://www.cov19-vaccine.mhlw.go.jp/qa/0088.html

2. https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(21)01642-1/fulltext

3. https://www.who.int/health-topics/smallpox#tab=tab_1

4. https://www3.nhk.or.jp/news/special/coronavirus/vaccine/pref/tokyo/

5. https://news.yahoo.co.jp/byline/kutsunasatoshi/20210731-00250705

6. https://www.nature.com/articles/s41586-021-03777-9

7. https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2021.08.03.21261496v1

Wednesday, July 21, 2021

IVERMECTIN

Last update [15 Aug 2021]

1. Sampai saat ini Ivermectin di Jepang masih dalam tahap uji klinis yang dipimpin oleh Kitasato University

https://www.kitasato.ac.jp/jp/news/20210806-04.html

Ivermectin terdaftar dalam uji klinis resmi di Jepang: 

https://jrct.niph.go.jp/en-latest-detail/jRCT2031200120

2. Pernyataan resmi dari produsen Ivermectin (Stromectol), MSD

https://www.msd.co.jp/static/pdf/announce_20210402.pdf

-------------------------------------------------------------------------------------------------

 IVERMECTIN

~ The Story Behind It ~

 

Banyak sekali pertanyaan tentang Ivermectin yang datang ke saya. Memang penggunaan Ivermectin sedang jadi topik yang sedang ramai di mana-mana.

Mari sedikit lebih mengenal cerita Ivermectin agar ada gambaran yang lebih baik kenapa sih obat ini ramai diperdebatkan.

 ----

Cikal bakal Ivermectin, disebut Avermectin, ditemukan oleh Professor Satoshi Omura dari Kitasato University, Jepang. Prof Omura berhasil mengisolasi bakteri dari tanah (unusual Streptomyces bacteria), dan kemudian bersama dengan rekannya Prof. William Campbell menemukan kalau si bakteri ini bisa menyembuhkan tikus yang terinfeksi round-worm/cacing gelang. Senyawa kimia dari kultur bakteri tersebut berhasil dikembangkan untuk digunakan di manusia, dan akhirnya Ivermectin (derivat dari Avermectin) menjelma menjadi antiparasit yang handal di seluruh dunia. Penemuan ini menghantarkan kedua ilmuwan tersebut menerima Nobel Prize in Medicine tahun 2015. [Ref 1]

Saat COVID-19 merebak tahun 2020, Ivermectin kembali mendapat sorotan. Kenapa? Karena ada hasil penelitian dari Australia, secara in-vitro (di laboratorium), yang menunjukkan Ivermectin bisa menghambat replikasi virus SARS-CoV-2, penyebab COVID-19. [Ref 2]

Ini kemudian disusul dengan publikasi case-control study dimana Ivermectin diberikan secara klinis ke pasien, dan menunjukkan kalau angka kematian dari grup yang menerima Ivermectin sangat rendah, dibandingkan yang tidak menerima Ivermectin (1.4% vs 8.5%). Ini tentu penemuan yang sangat menarik! Sayangnya, pada publikasi ini ditemukan beberapa kejanggalan seperti misalnya, publikasi indikasi awal adanya efek antivirus Ivermectin baru dinaikkan online 3 April 2020, tetapi pasien dalam jurnal ini sudah menerima Ivermectin sejak akhir Maret 2020 dengan jumlah pasien yang sangat besar, 704 pasien.
Ternyata setelah diselidiki, data dari publikasi ini terkait dengan skandal database Surgisphere, sebuah perusahaan yang memegang database pasien dari RS di banyak negara tetapi tanpa ada pengawasan ethics committee dan setelah dikonfirmasi ke RS yang bersangkutan, ternyata data yang ada tidak akurat. Akibat kasus ini, publikasi tentang Ivermectin tersebut ditarik dan jadi pemberitaan dimana-mana saat itu. [Ref 3, 4].

** Tidak hanya publikasi Ivermectin, ada publikasi lain terkait Hydroxychloroquine/choloroquine tahun 2020 yang juga terkait skandal Surgisphere, dan berakhir dengan ditariknya publikasi tersebut [Ref 5].
Setelah berbagai simpang siur berita tentang efektivitas hydroxycholoroquine, kita sendiri juga tahu, BPOM Indonesia akhirnya mencabut izin penggunaan darurat hydroxychloroquine untuk COVID-19. [Ref 6]

 

Bagaimana status Ivermectin di Jepang?

Di Jepang sendiri, sebenarnya sejak tahun 2020 lalu, Ivermectin sudah mendapat perhatian. Terlepas dari kejadian skandal di atas, efek antivirus Ivermectin memang memberikan harapan baru. Menurut laporan yang dikeluarkan dari Kitasato University, yang saat ini memimpin uji klinis domestik Ivermectin di Jepang, beberapa kendala seperti kurangnya pendanaan dan sumber daya manusia menjadi salah satu penyebab lambatnya uji klinis yang berlangsung [Ref 7]. Dalam diskusi di parlemen Februari 2021, PM Suga sempat mengatakan akan mendukung percepatan penelitian penggunaan Ivermectin untuk COVID-19. [Ref 8]. Kitasato University juga diberitakan sudah menggandeng perusahaan farmasi Kowa, untuk segera memulai uji klinis lebih besar di Tokyo, Osaka, Nagoya, dsb; dan mentargetkan untuk selesai akhir tahun ini. [Press release – 1 Juli 2021; Ref 9]

** Sampai saat ini (Juli 2021) Ivermectin belum termasuk sebagai obat resmi yang digunakan untuk pengobatan COVID-19 di Jepang.

Banyak pro kontra terkait Ivermectin menggema di berbagai kalangan medis baik di Jepang, maupun negara lainnya. Tidak lain karena data publikasi yang ada juga masih simpang siur, dan model penelitian yang dipakai juga berbeda beda.

Sejumlah laporan menunjukkan hasil yang menjanjikan dari penggunaan Ivermectin. Pengobatan dengan Ivermectin dikaitkan dengan turunnya angka kematian terutama pada pasien dengan gejala berat. [Ref 10] Begitupula berdasarkan meta-analysis data dari publikasi jurnal, dikatakan resiko kematian menurun pada grup dengan Ivermectin dibandingkan tanpa Ivermectin. [Ref 11, 12].

Di sisi lain, masih ada perdebatan terutama mengenai dosis pengobatan yang aman dipakai secara klinis. Untuk mencapai efek antivirus Ivermectin seperti yang didapat secara laboratorium, butuh dosis pemberian klinis yang jauh lebih besar dari dosis umum yang bisa ditoleransi pasien sehingga dikhawatirkan akan timbul efek samping yang tidak diharapkan.     
“Available evidence suggests that levels of ivermectin with meaningful activity against SARS-CoV-2 would not be achieved without extraordinary, potentially toxic increases in ivermectin dosing levels in humans   [Ref 13, 14]. 

Hasil meta-analysis data terbaru mengatakan Ivermectin tidak mengurangi resiko kematian maupun meningkatkan viral clearance. [Ref 15]
Saat ini sepertinya hasil outcome dari penggunaan Ivermectin masih tidak menentu. “The effects of Ivermectin were rated as very low certainty for all critical outcomes, including mortality”. [Ref 16]

 

Bagaimana Ivermectin di Indonesia?

Indonesia sedang dilanda kenaikan kasus yang sangat tinggi, saya pribadi menyadari betul kalau saat ini syarat ideal penggunaan obat di luar indikasi utamanya lebih sulit. Kondisi mendesak dan dokter sudah kewalahan menangani pasien. Saya sempat mengikuti virtual talkshow pro-kontra Ivermectin di acara bincang-bincang seputar COVID-19 (15 Juli 2021) dari Indonesia healthcare forum, mendengar berbagai opini dan belajar dari narasumber yang ada tentang kondisi di Indonesia.

Berdasarkan keterangan narasumber dalam acara tersebut, Ivermectin sudah mendapat Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK) dari BPOM, tetapi belum ada izin penggunaan darurat. Saat ini sudah ada 8 RS yang terlibat dalam uji klinis Ivermectin. [Ref 17,18]

1. Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta;

2. RSUP Prof. Dr. Sulianti Saroso, Jakarta;

3. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soedarso, Pontianak;

4. RSUP H. Adam Malik, Medan;

5. Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta;

6. Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) Dr. Esnawan Antariksa, Jakarta;

7. RS dr. Suyoto, Pusat Rehabilitasi Kementerian Pertahanan RI, Jakarta; dan

8. Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet, Jakarta

---

Sementara menunggu perkembangan hasil resmi uji klinis Ivermectin, saya hanya ingin mengingatkan, hati-hati menggunakan obat secara emosional. Ini termasuk reminder untuk saya sendiri yang juga sudah capek pandemik dan khawatir sekali dengan keluarga di Indonesia. Ada cerita yang membaik, tapi jangan lupa sudah ada juga cerita yang mengalami efek samping. Penggunaan Ivermectin, sebaiknya dalam koridor pengawasan dan persetujuan dokter.

Semoga dalam waktu dekat kita juga bisa mendapatkan data hasil uji klinis yang lebih jelas terkait penggunaan Ivermectin, baik di Jepang maupun di Indonesia.


“Don’t Panic – Stay Alert – Get Informed, and Be Wise


Tokyo, 21 Juli 2021

Dr. Kathryn Effendi

 

References

1. https://www.nobelprize.org/prizes/medicine/2015/omura/facts/

2. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0166354220302011

3. https://www.isglobal.org/documents/10179/6022921/Patel+et+al.+2020+version+2.pdf/adf390e0-7099-4c70-91d0-e0f7a0b69e14

4. https://news.yahoo.co.jp/byline/kutsunasatoshi/20200606-00182086/

5. https://www.sciencemag.org/news/2021/01/many-scientists-citing-two-scandalous-covid-19-papers-ignore-their-retractions

6. https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/121/PENJELASAN-BADAN-POM-RI-TENTANG-Pencabutan-Emergency-Use-Authorization-Hidroksiklorokuin-dan-Klorokuin-untuk-Pengobatan-COVID-19.html

7. http://jja-contents.wdc-jp.com/pdf/JJA74/74-1-open/74-1_44-95.pdf

8. https://www.yomiuri.co.jp/choken/kijironko/cknews/20210427-OYT8T50019/

9. https://www.kowa.co.jp/news/2021/press210701.pdf

10. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0012369220348984?via%3Dihub

11. https://covid19criticalcare.com/wp-content/uploads/2020/11/FLCCC-Ivermectin-in-the-prophylaxis-and-treatment-of-COVID-19.pdf

12. https://covid19criticalcare.com/wp-content/uploads/2021/06/Ivermectin_for_Prevention_and_Treatment_of.98040.pdf

13. https://www.ajtmh.org/view/journals/tpmd/102/6/article-p1156.xml

14. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13102818.2020.1775118

15. https://academic.oup.com/cid/advance-article/doi/10.1093/cid/ciab591/6310839

16. https://www.bmj.com/content/370/bmj.m2980

17. https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/616/Penggunaan-dan-Pengawasan-Peredaran-Ivermectin.html

18. https://nasional.kompas.com/read/2021/07/15/16315641/belum-ada-izin-penggunaan-darurat-untuk-ivermectin-bpom-uji-klinik-baru